BerandaOpiniKorupsi Demokrasi

Korupsi Demokrasi

- Advertisement -spot_img

Oleh : Muhammad jaddin wajad

JEMBER, Pelitaonline.co – Ada implikasi serius dari pernyataan petinggi Partai Gerindra Bambang Hariyadi, bagi kesehatan demokrasi yang di praktekan  melalui fungsi parlemen daerah.

Bambang Hariyadi menekankan bahwa sebagai partai pendukung, gerindra akan komitmen untuk memback Up, seluruh Kebijakan pemerintah terutama yang pro rakyat.

Tidak berhenti sampai disitu, Bambang juga menegaskan, jika terdapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang melakukan kritik terhadap kebijakan Pemerintah  Kabupaten (Pemkab) Jember, mereka akan ditertibkan.

“Selama itu bukan sikap partai, alias perorangan. Mereka akan kita tertibkan,” kata Bambang.

Lebih lanjut, Bambang  mengklaim bahwa Gerindra  adalah partai yang tegak lurus. Bahkan sekarang berada di dalam pemerintah. Dan mengeluarkan ancaman “Siapapun kader partai yang melakukan pembangkangan dan kami tidak segan-segan melakukan PAW (Pergantian Antar Waktu),”

Dari pernyataan ini, sangat nampak aroma kepentingan pribadi di atas kepentingan partai bahkan di atas perwakilan rakyat. Sehingga hal ini justru yang akan membuat fungsi anggota DPRD sebagai kontrol dan penyeimbang eksekutif menjadi lemah bahkan tidak berfungsi.

Cara pandang petinggi partai yang demikian menurut kacamata kami sama halnya dengan melakukan upaya korupsi demokrasi. Artinya, Fokus korupsinya, telah menghantarkan partai untuk meniadakan fungsi lembaga parlemen yang dibentuk atas persetujuan rakyat, dibiayai menggunakan uang rakyat dan produknya mempengaruhi hajat hidup rakyat.

Menganggap bahwa sikap anggota DPRD yang menyuarakan kepentingam rakyat dengan mengkritik bupati ketika dianggap tidak sejalan dengan suara partai sebagai bentuk suara perorangan, justru hal ini jelas2 telah mengeliminir peran, fungsi dan kewenangan anggota DPRD.

Seseorang yang menjadi anggota DPRD *disumpah* untuk menyuarakan aspirasi rakyat, dia digaji oleh uang rakyat, sehingga dia harus benar-benar berjuang dan loyal pada kepentingan rakyat bukan kepentingan partai terlebih kepentingan segelintir petinggi partai.

Seorang anggota DPRD pastilah akan senantiasa berhadapan dengan persoalan hidup masyarakat yang tidak semua mampu diakomodir oleh kebijakan bupati.

Belum lagi masyarakat masih dihadapkan kepada program dan kebijakan bupati yang dibiayai dari duit rakyat yang justru merugikan rakyat dan hanya menguntungkan pihak tertentu yang biasanya yakni kalangan elit.

Hal itu dikarenakan Previlege akses, kepada kebijakan dan kekuasaan yang  juga akhir-akhir ini dirasakan menyangkut karakter hubungan DPRD dan bupati yang janggal.

Dimana telah muncul indikator kuat pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangan seperti mutasi pejabat, pecah proyek, indikasi proyek multiyears yang tidak penuhi syarat formil dan materiil,  pokir DPRD yang penuh kejanggalan, ketidakterbukaan informasi proses  penganggaran Pokir yang diungkap oleh kepala bappeda.

Maka pernyataan Bambang Hariyadi bahwa, Gerindra akan memback up semua kebijakan bupati menjawab pertanyaan terhadap persoalan yang sedang viral di jember dari sudut yang sarat kepentingan konspiratif.

Seolah-olah, demokrasi yang dibangun hanya milik partai dan bupati, bahkan anggota parlemen dieliminir fungsinya dan kewajibannya.

Anggota parlemen, sekali lagi tidak digaji oleh partai, dia digaji dan mendapat fasilitas mewah dari rakyat, maka semua fungsi dan kewajibanya wajib dipastikan berjalan dengan efektif. Hak rakyat wajib dipastikan dapat dibela oleh keberadaan anggota DPRD.

Terhadap bupati perlu diiingatkan kalau perlu diteriakan bahwa fungsi anggota DPRD diantaranya adalah mengawasi, maka kritik anggota DPRD adalah instrumen penting dalam mengawasi  kebijakan bupati.

Apalagi kalau indikasi penyimpangan kebijakan bupati telah muncul di ruang publik, maka wajib bagi anggota DPRD meresponnya sesuai kewajiban dan fungsi  yang diembannya.

Nah, ketika petinggi partai menempatkan komitmen dukungan partainya kepada bupati, lebih tinggi daripada komitmen kepada kepentingan rakyat, maka kita sebagai rakyat telah mengalami “horor kekuasaan”.

Sebab, antara pelaksana dan pengawas yang keduanya mendapat amanah dari rakyat, lebih nyaman memilih “berkonspirasi” untuk menjauhkan pengelolaan kekuasaan di jember ini, dari kepentingan rakyat yang semestinya diwakilkan melalui suara kritis anggota DPRD.

Bahkan, disertai ancaman yang membuat nyali anggota DPRD langsung punah yaitu dukungan beribu-ribu pemilih cukup dihabisi oleh arogansi kekuasan subyektif petinggi partai yang tidak terkontrol oleh kriteria, norma dan moral berdemokrasi.

Inilah korupsi sesungguhnya dalam demokrasi yang telah menghinakan rakyat dari penghormatan yang seharusnya dilakukan  oleh mereka yang mengemban amanah dari rakyat.

Ke depan kita amati bagaimanakah peran, kewajiban, fungsi dan suara DPRD Jember, terutama yang para anggota DPRD nya mendapat  surat peringatan 1 (SP) karena terlalu kritis terhadap Bupati dan dalam menyuarakan aspirasi rakyat mengkritisi kebijakan “tidak pro rakyat”.

Andai sikap kritis benar-benar tumpul, maka Rakyat harus siap-siap mewakili dirinya sendiri dengan berkantor di jalan- jalan menyuarakan aspirasi yang telah dikorupsi oleh sikap arogan kekuasaan.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

#TRENDING TOPIC

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini