
Tren ini punya dampak nyata. Pertama, ia membuka ruang diskusi soal ketimpangan tanpa terasa menggurui. Anak muda jadi lebih aware soal isu ini. Kedua, tren ini mendorong kreativitas. Banyak pengguna bikin versi mereka sendiri, dari yang lucu sampai yang penuh sindiran sosial.
Tapi, ada juga tantangannya. Beberapa video dianggap “normalisasi” kesenjangan sosial, seolah ketimpangan cuma bahan candaan. Padahal, menurut laporan Bank Dunia (2024), 10% penduduk termiskin di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini reminder bahwa tren kesenjangan sosial harusnya lebih dari sekadar konten viral.
Ke depan, tren seperti ini kemungkinan bakal berkembang. Ada tanda-tanda konten ini mulai beralih ke isu lain, seperti kesenjangan pendidikan atau akses teknologi. Misalnya, video soal anak kota yang pakai laptop canggih versus anak desa yang belajar dari HP jadul mulai bermunculan.
Platform seperti TikTok juga bisa jadi alat edukasi. Bayangkan jika influencer besar bikin konten kesenjangan sosial yang tak cuma lucu, tapi juga kasih solusi, seperti ajakan donasi atau dukungan ke UMKM. Ini bisa bikin tren ini lebih impactful.
Mau coba bikin konten sendiri? Ini tipsnya:
Tren kesenjangan sosial di TikTok membuktikan bahwa media sosial bisa jadi cermin sekaligus kritik sosial. Dengan humor, anak muda menyuarakan realitas ketimpangan yang mereka hadapi. Jadi, lain kali scroll TikTok dan ketemu video semacam ini, jangan cuma ketawa—pikirkan juga pesan di baliknya.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News