
JEMBER, Pelitaonline.co – Bukan mengada-ngada jika warga terdampak, pembangunan wisata kuliner Ki Ronggo di Kota Kulon Bondowoso gigih menuntut ganti rugi dan penataan ulang pembangunannya.
Pasalnya, ada sejumlah 16 Kepala Keluarga (KK) yang mengalami kerugian langsung atas nilai aset dan usaha, akibat kesewenangan pembangunan itu. “Ada 16 KK yang terdampak langsung. Nilai asetnya hancur seperti yang dialami Mas Oook dan Agus. Ada yang usahanya macet seperti usaha kayunya Hartono,” terang Taufik Jamhur.
Sebelum tempat wisata kuliner Ki Rangga itu dibangun, Hartono (36) warga sekitar, merupakan pengusaha kayu bahan bangunan. Dari usahanya tersebut, ia sangat mampu menafkahi 5 orang keluarganya.
Usaha kayunya itu merupakan usaha turun temurun dari kakenya. Waktu itu usahanya masih berjalan lancar, saat didepan tempat usahanya, jalan rayanya masih dilewati oleh kendaraan umum.
Namun kini, ketika bangunan pujasera Ki Ronggo kokoh berdiri menghadang akses jalan raya tersebut, maka, usaha kayunya pun menjadi bangkrut.
“Untuk bertahan hidup, sekarang saya menjadi kuli bangunan dan kerja serabutan. Soalnya, ada 5 orang yang harus saya tanggung hidupnya,” tutur Hartono dengan nada sedih.
Pendapatan sehari-harinya menjadi kuli bangunan sangat pas-pasan, hanya cukup dibuat makan keluarganya. Sehingga ia tak mampu merehabilitasi rumahnya yang sudah lapuk. Tak berselang lama, rumah itu pun menjadi ambruk.
“Untunglah tak ada korban jiwa. Saya bersyukur masih ada teman-teman senasib yang patungan membangunnya lagi. Sehingga saya masih punya rumah lagi walau sangat sederhana sekali,”
Pengalaman pahit akibat bangunan Pujasera Ki Ronggo dialami pula oleh Agus Nurwahyudi 65) atau dipanggil pak Agus, warga terdampak RT 31. Rumahnya persis sebelah utara bangunan Pujasera Ki Ronggo
Pak Agus bercerita, sebelum ada bangunan tersebut, rumah keluarga isteri yang ditempatinya itu pernah ditawarkan seharga 1 milyaran. Rumah itu hendak dijual, sebab ada kepentingan pembagian waris.
Tak berselang lama, akses jalan raya depan rumahnya dirubah menjadi bangunan Pujasera oleh Pemkab Bondowoso. Seketika itu pula, nilai aset rumah keluarga isterinya itu hancur lebur.
“Setelah jalan raya depan rumah ini jadi gang buntu seperti ini, kakak ipar saya pernah menawarkannya 500 juta, tapi tak ada satupun yang mau menawarnya,” tutur Pak Agus.
Bersebelahan dengan rumahnya Pak Agus, yakni rumahnya Sumaji Budi atau biasa disapa Mas Ook, pun mengalami nasib serupa. Tampak tanah rumahnya mas Ook lebih luas dan lebih besar dari Rumahnya Pak Agus.
Mas Ook menerangkan, akibat adanya pembangunan Pujasera Ki Ronggo tersebut, nilai aset tanah dan bangunannya merugi milyaran rupiah.
“Kalau melihat harga tanah sekarang 2 juta permeter. Sedangkan luas tanah saya 2.250 m². Maka nilainya, 4 milyar lebih. Tapi, tanah dan rumah saya sekarang jadi gang buntu akibat Pujasera tersebut, dijual 2 Milyar apa laku?” seru dia.
Tak sesuai janji awal, malapetaka itupun datang
Pak Agus menjelaskan sebelum jembatan baru Ki Ronggo yang habiskan anggaran 13,5 Milyar itu dibangun, jalan dan jembatan lama yang sekarang dimatikan itu, fungsinya tak jauh beda. Yakni, berfungsi sebagai penghubung dari kecamatan Tegal Ampel ke arah Alun-Alun.
“Meskipun bukan jalan propinsi, tapi jalan yang sekarang ditutup itu termasuk satu-satunya akses penghubung dari kecamatan Tegal Ampel ke Alun-Alun dan sebaliknya. Dan lebarnya tidak kurang dari lebar jalan yang sekarang,” terang Pak Agus.
Pak Agus yang mengaku mantan guru sekolahnya Wabup Irwan Bakhtiar ini menambahkan, bahwa, sepanjang bantaran sungai di samping jembatan lama, waktu itu masih berdiri pemukiman penduduk. Sebelah utara masuk RT 31, sedang selatan RT 30.
“Seluruhnya, kira kira ada 18 KK,” ujarnya.
Dia bercerita sebelum 18 KK tersebut tergusur, mereka merupakan warga yang tanah dan rumahnya mendapat ganti rugi pembebasan.
“Tanah yang tidak ada bangunan rumahnya dihargai 1 juta permeter. Sedangkan yang ada, dihargai 2 juta,” ceritanya.
Mendengar adanya ganti rugi tersebut, lanjut pak Agus, mereka ramai-ramai mengurus sertifikasi tanahnya.
“Ya, mereka sangat rela melepaskan dan sangat enjoy menikmati ganti ruginya,” tuturnya lagi sambil tertawa.
Pak Agus tidak tahu persis tanah di sepanjang bantaran sungai yang mendapatkan pembebasan lahan itu tanah negara atau tanah milik warga. Yang jelas, sebelum dibebaskan mereka mengurus terlebih dahulu sertifikatnya.
“Soalnya, sebelum ada pemukiman, ceritanya, bantaran sungai disebelah utara ini tempat penjagalan babi. Setelah itu, diganti dengan tempat pembuangan sampah,”
Sebelum digusur untuk diganti bangunan Pujasera, Disebelahnya tempat pembuangan sampah tersebut ada rumahnya Pak Wig mantan Sekda tapi tidak pernah ditempati. Kemudian ada rumahnya Pak To, dan seterusnya. Dan ada pula poskamlingnya.
Awalnya, pak Agus mengira bahwa penggusuran pemukiman itu akan digunakan untuk tempat taman kota. Dia berpikir, tidak akan sampai menutup akses jalan dan jembatan penghubungnya.
“Tapi begitu pembangunan jembatan baru di sana dimulai dengan nancapkan paku buminya, disini … (depan rumahnya) jalannya dihancuri. Lebih separuh jalannya dihabiskan,”
Mengetahu hal itu, dia bersama 16 KK terdampak langsung, kaget. Dan saat itulah mereka gencar melakukan penolakannya.
“Seandainya sesuai konsep pertama untuk dibuat taman kota, dan jalannya tak ditutup, kita enjoy-enjoy saja. Tapi begitu dirubah jadi pusatnya PKL dan akses jalannya ditutup, disitulah pemicu masalahnya,” tandasnya.
Menguatkan pendapatnya dia, Taufik Jamhur koordinator warga terdampak mengatakan bahwa set plan awal pembangunan yang disodorkan oleh pak Muji (Kadis PUPR sebelum pak Karna) tidak sampai menutup jalan dan jembatan.
“Iki loh gambarnya, Mas! Nggak sampai menutup jalan. Jembatan dan jalannya masih aktif! Untuk antisipasi kemacetan jalan utama,” kata Taufir menirukan omongannya pak Muji waktu itu.
Lantaran jalan dan jembatan ditutup, sejak saat itulah gerilya penolakan warga kerap dilakukan dibawah koordinasi Taufik Jamhur. Bentuk penolakan berupa korespodensi, audiensi sampai penyegelan sepihak.
Rekam jejak penolakannya antara lain; bulan Januari tahun 2018 mereka mengirimkan surat penolakan ke Pemkab Bondowoso dengan tembusan Omdbusman dan pihak terkait lannya. Lalu dilanjut hearing ke DPRD sebanyak 2 kali.
Tanggal 18 Juni Tahun 2019 mereka pasang baliho besar menolak pembangunan tersebut. Kemudian, tanggal 12 Februari tahun 2020 menemui Bupati Salwa menyampaikan penolakannya yang hasilnya berupa janji akan dikaji ulang penataannya.
Tak kunjung dikaji ulang, hari Sabtu (14/3/2021), beberapa waktu lalu mereka menyegel sepihak atas keberadaan tempat tersebut. Dan terkini, Senin ( 16/08/2021), mereka audiensi dengan Wabup Irwan Bakhtiar, namun hasilnya tetap tidak memuaskan 16 warga terdampak. (Ful/Yud)
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News