
Lebaran hari ini bukan sekadar soal waktu, tetapi juga simbol keteguhan. Tradisi suluk (i’tikaf 40 hari) yang dilakukan menjelang dan selama Ramadan tetap dilestarikan, meski jumlah peserta kadang menurun. “Ini soal fokus mendekatkan diri pada Allah,” kata Buya Piri, mursyid Naqsabandiyah, menjelaskan esensi ibadah mereka.
Di era digital, Jemaah Naqsabandiyah juga mulai beradaptasi. Beberapa komunitas mengunggah dokumentasi salat Id dan takbiran ke Instagram dan YouTube. “Kami ingin generasi muda tahu tradisi ini,” ujar Erizon Revindo, Sekretaris Tarekat Naqsabandiyah Kota Padang. Langkah ini menunjukkan bahwa mereka tak hanya bertahan, tetapi juga relevan di zaman sekarang.
Perayaan Idul Fitri hari ini oleh Jemaah Naqsabandiyah menegaskan bahwa perbedaan tak harus memecah belah. Dengan jumlah jemaah aktif mencapai ribuan di Sumatera Barat saja, mereka terus menjaga identitasnya. “Lebaran lebih awal bukan soal siapa benar atau salah, tapi soal istiqomah,” kata Mardanus, merangkum semangat komunitasnya.
Di tengah dunia yang serba cepat, Jemaah Naqsabandiyah mengajarkan tentang konsistensi dan kesederhanaan. Dari takbiran yang sederhana hingga salat Id yang khusyuk, mereka membuktikan bahwa tradisi lama bisa hidup harmonis dengan modernitas. “Kami satu umat, meski beda cara,” tutup Syekh Muda Markum, menawarkan perspektif bijak di hari istimewa ini.
Jemaah Naqsabandiyah yang sudah berlebaran hari ini, 29 Maret 2025, menghadirkan cerita tentang tradisi, keyakinan, dan keberagaman. Bagi mereka, 30 hari puasa adalah wujud syukur, dan Idul Fitri adalah puncak kemenangan spiritual.
Jika Anda berada di Padang atau sekitarnya, menyaksikan langsung suasana di Surau Baru bisa jadi pengalaman yang memperkaya. Bagaimana pandangan Anda tentang lebaran mereka hari ini? Keberagaman ini justru memperkuat, bukan?
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News