EKONOMI – Jakarta, 10 Juni 2025. World Bank secara resmi menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 dari 2,7% menjadi hanya 2,3%, menciptakan tekanan baru terhadap stabilitas nilai tukar rupiah yang saat ini bergerak di kisaran Rp16.270 per dolar Amerika Serikat. Penurunan proyeksi ini menandai periode pertumbuhan ekonomi global terlemah sejak 2008 di luar resesi resmi, dengan dampak langsung terhadap pasar valuta asing regional termasuk Indonesia.
Dampak Kebijakan Perdagangan AS Terhadap Stabilitas Rupiah
Ketegangan perdagangan yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump telah menciptakan volatilitas signifikan dalam pasar valuta asing global. Tarif efektif Amerika Serikat telah meningkat dari di bawah 3% menjadi pertengahan belasan persen, mencapai level tertinggi dalam hampir satu abad. Kondisi ini memberikan tekanan tambahan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah Indonesia yang berfluktuasi antara Rp16.228 hingga Rp16.698 dalam 90 hari terakhir.
Menurut data terkini dari Bank Indonesia, kurs tengah rupiah JISDOR berada di level Rp16.305 per dolar AS. Pergerakan rupiah menunjukkan resiliensi relatif dibandingkan mata uang Asia lainnya, dengan penguatan 0,12% di tengah pelemahan yuan China dan yen Jepang. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memproyeksikan rupiah akan bergerak fluktuatif namun cenderung menguat di rentang Rp16.230 hingga Rp16.290 per dolar AS dalam jangka pendek.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi AS dan Implikasinya
World Bank memangkas drastis proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari 2,3% menjadi hanya 1,4% untuk tahun 2025, setengah dari tingkat pertumbuhan 2,8% yang dicatat pada 2024. Penurunan ini mencerminkan dampak negatif dari perang dagang yang berkelanjutan terhadap konsumsi privat, perdagangan, dan investasi. Indermit Gill, Kepala Ekonom World Bank, memperingatkan bahwa “tanpa koreksi arah yang cepat, kerusakan terhadap standar hidup bisa sangat dalam”.
Kebijakan perdagangan yang tidak menentu telah menimbulkan “tingkat ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan. Hal ini berdampak langsung pada arus modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, melalui penurunan investasi langsung asing dan investasi portofolio.
Respons Regional dan Outlook Mata Uang Asia
Mayoritas mata uang Asia menunjukkan pergerakan yang bervariasi dalam merespons ketidakpastian global. Won Korea Selatan mencatat penguatan signifikan 0,63%, diikuti baht Thailand 0,46%, dan peso Filipina 0,30%. Sementara itu, yuan offshore China mengalami tekanan dengan melemah 0,11%, bersama yen Jepang yang turun 0,08%.
Data perdagangan menunjukkan bahwa dolar AS turun ke posisi terendah dalam enam minggu karena munculnya tanda-tanda kerentanan dalam ekonomi Amerika Serikat akibat dampak perang dagang. Factory and Jobs Data yang akan dirilis dalam beberapa hari ke depan diperkirakan akan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang dampak ketidakpastian perdagangan terhadap ekonomi terbesar dunia.
Strategi Indonesia Menghadapi Guncangan Global
Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi dampak perlambatan ekonomi global dengan mengeluarkan paket stimulus ekonomi senilai Rp24,44 triliun untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional tetap positif selama periode Juni-Juli 2025. Cadangan devisa Indonesia tercatat stabil di level US$152,49 miliar per 28 Mei 2025, memberikan cushion yang memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan dengan pertumbuhan 4,87% pada kuartal pertama 2025, didukung oleh pasar domestik yang besar dan diversifikasi ekonomi yang solid. Rully Arya Wisnubroto dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia mencatat bahwa arus masuk dana asing yang kuat ke obligasi negara dan pelemahan dolar AS secara umum telah mendukung rupiah bertahan di bawah level Rp16.300 selama lebih dari dua pekan.
Outlook Jangka Panjang dan Risiko ke Depan
World Bank memproyeksikan pertumbuhan perdagangan global akan melambat menjadi hanya 1,8% pada 2025, turun dari 3,4% pada 2024 dan jauh di bawah rata-rata 5,9% pada dekade 2000-an. Proyeksi ini menunjukkan bahwa kerusakan terhadap arus perdagangan mungkin bersifat permanen dan tidak akan pulih ke tingkat pra-pandemi dalam waktu dekat.
Risiko resesi global tetap rendah di bawah 10%, namun Bank Dunia memperingatkan bahwa eskalasi lebih lanjut dalam hambatan perdagangan dapat mengurangi 0,5 poin persentase dari outlook 2025. Skenario terburuk dengan peningkatan tarif AS sebesar 10 poin persentase tambahan dan retaliasi proporsional dari negara lain dapat mengakibatkan “perdagangan global mandek di paruh kedua tahun ini”.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh World Bank mencerminkan tantangan serius yang dihadapi perekonomian dunia di tengah ketegangan perdagangan yang berkelanjutan. Bagi Indonesia, meskipun rupiah menunjukkan stabilitas relatif di kisaran Rp16.270 per dolar AS, risiko spillover dari perlambatan ekonomi global tetap perlu diwaspadai. Kombinasi kebijakan fiskal domestik yang proaktif, cadangan devisa yang memadai, dan diversifikasi ekonomi diharapkan dapat menjaga ketahanan ekonomi Indonesia di tengah turbulensi global yang tidak menentu.(UA/Red)