Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

QRIS dan GPN: Transformasi Pembayaran Digital Indonesia di Tengah Sorotan Amerika

Perkembangan Terkini QRIS dan GPN

QRIS dan GPN terus berevolusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Berikut adalah tren terbaru yang mencerminkan kemajuan kedua sistem ini:

  • Ekspansi Cross-Border QRIS: BI telah memperluas QRIS untuk transaksi lintas negara, seperti dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura, memperkuat posisi Indonesia di kawasan ASEAN. Sistem ini masih menggunakan GPN sebagai backbone settlement, meningkatkan efisiensi biaya.
  • Inovasi QRIS Tap: Pada 2025, BI meluncurkan QRIS Tap, memungkinkan pembayaran hanya dengan menempelkan ponsel, meningkatkan kenyamanan pengguna.
  • Integrasi dengan UMKM: Lebih dari 26 juta UMKM telah mengadopsi QRIS, memperluas akses pasar dan mendukung inklusi keuangan. Biaya transaksi yang rendah (0,7% untuk UMKM) menjadi daya tarik utama.
  • Dominasi GPN di Transaksi Kartu: Kebijakan BI sejak Mei 2023 mewajibkan transaksi kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN, mengurangi biaya switching hingga 50% dibandingkan layanan asing.

Data dari BI menunjukkan bahwa QRIS kini digunakan oleh lebih dari 30 juta pengguna aktif, dengan nilai transaksi mencapai Rp250 triliun pada kuartal pertama 2025. Sementara itu, GPN telah memangkas biaya operasional bank dan merchant hingga Rp1,5 triliun per tahun.

Sorotan Amerika terhadap QRIS dan GPN

Pada Maret 2025, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menerbitkan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025. Mereka menyebut QRIS dan GPN sebagai kebijakan yang menghambat perdagangan digital. AS mengkritik kurangnya transparansi dalam penyusunan regulasi QRIS berdasarkan Peraturan BI No. 21/2019. AS berkata jika ini tidak melibatkan konsultasi dengan pemangku kepentingan asing, termasuk bank dan penyedia layanan pembayaran AS.

Selain itu, GPN dikritik karena aturan kepemilikan asing yang dibatasi maksimal 20% untuk perusahaan switching berlisensi, sebagaimana diatur dalam Peraturan BI No. 19/08/2017. Kebijakan ini dianggap membatasi akses perusahaan AS untuk memproses transaksi domestik, terutama kartu debit dan kredit. USTR juga menyoroti mandat BI bahwa kartu kredit pemerintah harus diproses melalui GPN, yang dinilai merugikan penyedia layanan AS seperti Visa dan Mastercard.

Namun, Deputi Gubernur BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa Indonesia tidak mendiskriminasi mitra asing. Ia menekankan bahwa Visa dan Mastercard tetap mendominasi pasar kartu kredit lokal, menunjukkan integrasi yang kuat dengan ekosistem pembayaran Indonesia. “Kami terbuka untuk kerja sama selama ada kesiapan bersama,” ujarnya.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Halaman: 1 2 3
Berita Serupa
Exit mobile version