Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Pendidikan Disiplin Militer: Solusi atau Masalah Baru ala Dedi Mulyadi?

Dukungan dan Optimisme Kebijakan

Sejumlah pihak menyambut baik pendidikan disiplin militer ini. Menteri HAM Natalius Pigai, misalnya, menyebut kebijakan ini tidak melanggar HAM selama bebas dari hukuman fisik. Ia bahkan mendorong program ini diterapkan nasional jika terbukti sukses, karena bisa membentuk mental, disiplin, dan tanggung jawab siswa. Pigai melihatnya sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, juga mendukung, menyebut program ini sebagai upaya negara menyelamatkan generasi muda dari “degradasi moral”. Di lapangan, beberapa orang tua secara sukarela menitipkan anak mereka ke barak, berharap perubahan perilaku positif. Data awal menunjukkan, di Purwakarta, 39 siswa SMP sudah mengikuti program ini sejak 1 Mei 2025, dan minat orang tua cukup tinggi, dengan ribuan peminat dilaporkan pada Mei 2025.

Kritik Tajam dari Berbagai Sudut

Meski menuai dukungan, pendidikan disiplin militer ini tak luput dari kritik pedas. Banyak ahli dan organisasi menilai kebijakan ini salah kaprah. Berikut beberapa sorotan kritis:

Melanggar Hak Anak?

Pakar hukum pidana anak dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, menyebut kebijakan ini berpotensi melanggar UU Perlindungan Anak No. 35/2014, khususnya Pasal 9 yang menjamin perlindungan anak dari kekerasan di satuan pendidikan. Menurutnya, pendekatan militeristik bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (UNCRC) yang diratifikasi Indonesia.

Solusi Instan, Bukan Akar Masalah

Yayasan PKPA menilai, pendidikan disiplin militer tidak menyentuh akar masalah kenakalan remaja, seperti kegagalan pengasuhan keluarga atau minimnya intervensi berbasis perlindungan anak. Direktur PKPA, Keumala Dewi, menyebut anak-anak ini sering kali korban pengabaian atau disfungsi keluarga, bukan pelaku yang perlu “digembleng”.

Risiko Psikologis dan Militerisasi

Pakar pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin, khawatir program ini membuat siswa kehilangan kreativitas dan inisiatif. “Anak yang terlalu disiplin cuma menunggu perintah, seperti pion. Ini bahaya buat demokrasi,” katanya. Ia juga memperingatkan risiko siswa jadi lebih agresif karena terpapar nilai-nilai militer yang tak sesuai usia mereka.

Wakil Menteri Pendidikan Atip Latipulhayat menambahkan, sekolah sudah punya mekanisme bimbingan konseling (BK) untuk menangani siswa nakal. Pendekatan militer justru bisa menciptakan konotasi negatif, seperti “militerisasi pendidikan”.

Data Terbaru: Pro dan Kontra di Lapangan

Hingga Mei 2025, program pendidikan disiplin militer telah berjalan di Purwakarta dan Bandung, dengan total 60 siswa terlibat. Di Purwakarta, 30 siswa SMP dibina di Resimen Artileri Medan, sementara 30 siswa lainnya di Bandung mengikuti program serupa. Respons masyarakat terbelah. Sebuah postingan di X dari @tvOneNews pada 9 Mei 2025 menyebut sebagian guru dan siswa mendukung, tapi banyak pihak meminta evaluasi mendalam.

Laporan awal menunjukkan beberapa siswa menunjukkan perubahan positif, seperti lebih patuh dan teratur. Namun, tidak ada data resmi yang mengukur dampak jangka panjang. Sementara itu, Komnas HAM dan DPR RI, termasuk Anggota Komisi X Bonnie Triyana, meminta kebijakan ini dikaji ulang karena minim dasar hukum dan kurikulum jelas.

Solusi atau Masalah Baru?

Pertanyaan besarnya: apakah pendidikan disiplin militer ini solusi efektif atau justru menambah masalah? Dari sisi positif, program ini bisa jadi pukulan telak bagi kenakalan remaja yang sulit diatasi sekolah atau keluarga. Dukungan TNI dan antusiasme sebagian orang tua menunjukkan potensi keberhasilan, terutama untuk kasus ekstrem seperti tawuran atau kriminalitas.

Namun, risikonya tak bisa diabaikan. Pendekatan militeristik berpotensi menciptakan trauma psikologis, apalagi tanpa kurikulum yang jelas atau pendampingan psikolog. Mengabaikan akar masalah, seperti disfungsi keluarga atau sistem pendidikan yang terlalu akademis, membuat program ini terasa seperti solusi instan. Belum lagi, pelibatan TNI dalam pendidikan sipil memicu kekhawatiran soal militerisasi, mengingatkan pada era Orde Baru.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Halaman: 1 2 3
Berita Serupa
Exit mobile version