
Berita Terkini – Mahasiswi ITB viral di media sosial belakangan ini bukan karena prestasi akademik, melainkan sebuah meme kontroversial. Seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB berinisial SSS ditangkap polisi karena mengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap tak senonoh.
Kisah ini memicu perdebatan sengit soal kebebasan berekspresi, batas humor, dan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana kasus ini berkembang? Mari kita ulas secara santai tapi informatif.
Semuanya bermula dari sebuah unggahan di media sosial X. SSS, mahasiswi ITB, membuat meme menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang menggambarkan Prabowo dan Jokowi dalam pose berciuman. Meme ini cepat menyebar dan menjadi viral. Namun, bukannya tawa, unggahan ini justru menuai kontroversi. Akun X @MurtadhaOne1 mengunggah kabar penangkapan SSS pada 6 Mei 2025, yang kemudian dikonfirmasi oleh berbagai sumber berita.
Polisi menangkap SSS di indekosnya di Jatinangor, Sumedang, dengan tuduhan melanggar UU ITE, tepatnya Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1). Meme itu dianggap melanggar kesusilaan dan mencemarkan nama baik. Kabar ini langsung memicu reaksi beragam, dari kemarahan netizen hingga dukungan untuk kebebasan berekspresi.
Kasus ini bukan sekadar soal meme. Ia mencerminkan ketegangan antara kreativitas, humor, dan batasan hukum di era digital. Mahasiswi ITB viral ini menjadi simbol perdebatan yang lebih besar: sampai mana batas ekspresi di ruang publik?
Untuk memahami kasus ini, kita perlu melihat kronologinya secara runtut:
Kronologi ini menunjukkan betapa cepat kasus mahasiswi ITB viral ini berkembang. Dalam hitungan hari, kasusnya menjadi sorotan nasional, bahkan internasional.
Kasus ini memicu diskusi panas tentang kebebasan berekspresi. Banyak pihak, termasuk Amnesty International dan Partai Buruh, menilai penangkapan SSS berlebihan. Mereka menyebut meme sebagai bentuk kritik politik yang dilindungi oleh hukum HAM internasional dan nasional. Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, bahkan mendesak Presiden Prabowo turun tangan untuk membebaskan SSS, menyebut meme itu bukan konten asusila, melainkan kritik sosial.
Namun, ada pula yang mendukung tindakan polisi. Wakil Ketua Pro Jokowi (Projo), Freddy Damanik, meski tak melihat unsur penghinaan, tetap meminta pendekatan hukum yang tegas, tapi dengan keadilan restoratif. UU ITE sendiri sering dikritik karena pasal-pasalnya yang multitafsir, terutama soal kesusilaan dan pencemaran nama baik.
Di sisi lain, KM ITB mengecam penahanan SSS sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menuntut pembebasan SSS dan menyerukan solidaritas masyarakat sipil untuk menegakkan hukum yang adil.
ITB tak tinggal diam. Kampus menyatakan telah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) dan Kemendiktisaintek, untuk memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan akademis kepada SSS. Wakil Rektor ITB, Andryanto Rikrik Kusmara, mengapresiasi sikap Istana yang menyarankan pembinaan ketimbang pemidanaan.
Pemerintah, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, menegaskan bahwa Prabowo tak melaporkan SSS. Istana lebih memilih pendekatan edukatif. Kemendiktisaintek juga menyampaikan keprihatinan, menekankan pentingnya literasi digital yang bertanggung jawab di kalangan mahasiswa.
Kasus mahasiswi ITB viral ini bukan hanya soal hukum, tapi juga cerminan dinamika media sosial. Meme, yang sering dianggap hiburan ringan, ternyata bisa berujung pada konsekuensi serius. Namun, kasus ini juga menunjukkan kekuatan solidaritas. Dukungan dari KM ITB, masyarakat sipil, hingga anggota DPR seperti Habiburokhman berhasil mendorong penangguhan penahanan SSS.
Beberapa pelajaran penting dari kasus ini:
Kisah mahasiswi ITB viral ini menyisakan banyak pertanyaan. Apakah UU ITE perlu direvisi agar tak mengekang kreativitas? Bagaimana menyeimbangkan humor dengan etika di ruang digital? Yang jelas, kasus SSS telah membuka diskusi penting tentang kebebasan berekspresi di Indonesia. Dengan penangguhan penahanannya, SSS kini mendapat kesempatan untuk belajar dan berkembang di bawah bimbingan kampus dan keluarga.
Solidaritas masyarakat, dari netizen di X hingga organisasi seperti Amnesty, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya tentang satu mahasiswi, tapi tentang masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ke depan, penting bagi kita semua untuk memahami batas-batas hukum tanpa kehilangan ruang untuk berkreasi. Kisah mahasiswi ITB viral ini, meski penuh drama, mungkin jadi titik awal untuk perubahan yang lebih baik.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News