
Jemaah Naqsabandiyah mendasarkan waktu ibadah mereka pada metode hisab Munjid, sebuah perhitungan berbasis almanak tahunan yang merujuk pada Kitab Munjid dan ajaran Abu Bakar Siddiq. Berbeda dengan rukyat (pengamatan hilal) yang digunakan pemerintah atau hisab hakiki wujudul hilal ala Muhammadiyah, metode ini mengandalkan proyeksi peredaran bulan yang telah ditetapkan sejak lama. “Kami menghitung dari Ramadan tahun lalu dan menyesuaikan dengan dalil syariat,” jelas Zahar, Imam Surau Baru, dalam wawancara sebelumnya.
Tahun ini, mereka memulai puasa pada 27 Februari 2025, sehingga 29 Maret menjadi hari ke-30 Ramadan. “Puasa 30 hari adalah bentuk kesempurnaan ibadah bagi kami,” tambah Zahar. Tradisi ini sudah berlangsung lebih dari seabad, sejak Surau Baru didirikan pada 1910 oleh Syekh Muhammad Thaib, pendiri Naqsabandiyah di Padang.
Perayaan Idul Fitri hari ini langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial, khususnya di X. “Jemaah Naqsabandiyah sudah lebaran, konsistensinya luar biasa,” tulis seorang pengguna. Video takbiran semalam dari Surau Baru juga viral, dengan ratusan komentar yang memuji kekhusyukan acara tersebut. “Beda hari, tapi semangatnya sama,” ujar akun lain, mencerminkan apresiasi terhadap keberagaman.
Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan metode mereka. “Kenapa harus beda sendiri? Kan bisa seragam dengan pemerintah,” tanya seorang warga Padang yang enggan disebut namanya. Menanggapi ini, Buya Syafri Malin Mudo, pimpinan Naqsabandiyah Sumatera Barat, menegaskan, “Kami tidak menyalahkan rukyat, tapi hisab ini warisan leluhur yang kami junjung.”
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News