
Penulis : Muhammad Badril Umam Ketua PAC GP Ansor Rambipuji Kabupaten Jember
Pelitaonline.co – Kasus yang menimpa Ach. Ghufron Sirodj, atau yang akrab disapa Gus Gopong mengundang perhatian publik terkait dengan situasi yang ia hadapi setelah memenangkan dukungan luas pada Pemilu Legislatif 2024. Sebagai kader Ansor yang memiliki pengaruh kuat di daerah pemilihan (dapil) IV Jember-Lumajang, Gus Gopong berhasil meraih suara terbanyak kedua dengan nomor urut 5 dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
Namun, alih-alih menerima kursi di DPR RI, ia justru tersingkir dari pencalonan karena pemecatan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebelum penetapan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kejadian ini memicu berbagai pertanyaan tentang kesehatan demokrasi kita, di mana suara rakyat bisa dikesampingkan oleh kebijakan partai.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia menempatkan pemilu sebagai sarana utama untuk memastikan bahwa rakyatlah yang berdaulat dalam menentukan wakil-wakilnya di pemerintahan. Demokrasi seharusnya menjadi sistem di mana setiap suara dihitung dan dihormati, tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Namun, apa yang terjadi pada Gus Gopong menunjukkan bahwa demokrasi kita masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tumpul. Kegagalannya dilantik sebagai anggota DPR RI tidak hanya sekadar cerita tentang satu individu yang tersingkir, tetapi juga mencerminkan krisis yang lebih luas terkait dengan representasi rakyat dan dominasi partai politik dalam menentukan nasib bangsa.
Ketimpangan Kekuasaan Antara Rakyat dan Partai Politik
Dalam sistem demokrasi yang sehat, partai politik berperan sebagai jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Partai politik mengusung kandidat, tetapi pada akhirnya, rakyatlah yang berhak memilih siapa yang akan mewakili mereka di parlemen.
Pemilu bukan sekadar kompetisi antar partai, melainkan kompetisi antarindividu yang dinilai berdasarkan kapabilitas, integritas, dan kepercayaan yang dibangun di tengah masyarakat. Namun, pada kenyataannya, partai politik di Indonesia masih memegang kendali yang sangat besar atas siapa yang bisa bertahan dalam arena politik, bahkan setelah mereka mendapat mandat dari rakyat.
Pemecatan Gus Gopong oleh PKB menjelang penetapan resmi KPU menjadi bukti nyata betapa kuatnya pengaruh partai politik dalam menyingkirkan kader yang tidak lagi mereka inginkan, terlepas dari kehendak pemilih.
Meski Gus Gopong mendapatkan legitimasi politik melalui suara rakyat, keputusan partai untuk memecatnya membuktikan bahwa partai masih menjadi otoritas tertinggi yang dapat membatalkan hasil pemilu. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena menciptakan preseden bahwa suara rakyat dapat diabaikan ketika tidak sesuai dengan kepentingan partai.
Krisis Demokrasi: Partai di Atas Rakyat?
Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, apakah demokrasi kita benar-benar berjalan dengan semestinya? Pemilu seharusnya menjadi momen di mana rakyat memiliki kuasa penuh untuk memilih siapa yang akan mewakili mereka. Tetapi dengan kejadian seperti yang dialami oleh Gus Gopong, kita harus menghadapi kenyataan bahwa demokrasi kita berada dalam ancaman besar ketika partai politik bisa mengambil alih keputusan yang sudah seharusnya ada di tangan rakyat.
Partai politik memang memiliki peran penting dalam sistem demokrasi, terutama dalam mengusung calon yang akan bersaing dalam pemilu. Namun, partai tidak boleh bertindak sebagai kekuatan yang bisa mengintervensi hasil akhir dari proses demokrasi tersebut. Kasus pemecatan Gus Gopong menggambarkan sebuah paradoks di mana meskipun ia dipilih oleh rakyat, otoritas partai lebih kuat daripada suara pemilih. Ini bukan hanya ketidakadilan bagi Gus Gopong, tetapi juga ketidakadilan bagi mereka yang telah mempercayakan suaranya kepada Gus Gopong.
Kepentingan Partai dan Kepentingan Publik
Kasus ini juga mengungkap bagaimana partai politik cenderung lebih mementingkan kepentingan internal dibandingkan dengan kepentingan publik. Pemecatan Gus Gopong, meskipun tidak dijelaskan secara rinci oleh PKB, tampaknya terkait dengan dinamika internal partai yang mungkin tidak memiliki relevansi langsung dengan kinerja atau kapasitasnya sebagai calon wakil rakyat.
Partai politik seharusnya memahami bahwa begitu kandidat mereka maju dalam pemilu, mereka menjadi representasi dari rakyat, bukan lagi sekadar alat politik partai. Ketika partai memutuskan untuk memecat atau mengeliminasi calon yang dipilih oleh rakyat, mereka pada dasarnya telah mengkhianati kehendak rakyat.
Selain itu, kasus ini menyoroti adanya celah dalam regulasi pemilu di Indonesia. Meskipun KPU adalah lembaga yang bertugas menjaga integritas proses pemilu, mereka masih harus tunduk pada keputusan partai terkait status calon. Ini menunjukkan bahwa sistem kita masih memungkinkan partai untuk mengontrol penuh nasib seorang kandidat, bahkan setelah pemilih memberikan mandat mereka. Dalam kasus Gus Gopong, keputusan PKB jelas mempengaruhi legitimasi proses pemilu, yang pada akhirnya menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Harapan untuk Masa Depan: Demokrasi yang Sehat Tanpa Intervensi Partai
Apa yang kita pelajari dari kasus Gus Gopong adalah bahwa demokrasi kita masih rentan terhadap intervensi dari aktor-aktor politik yang memiliki kepentingan tertentu. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjamin bahwa suara rakyat tidak bisa dikesampingkan oleh kepentingan partai atau kekuatan politik lainnya. Untuk mencapai itu, kita perlu mereformasi peran dan kekuasaan partai politik dalam sistem pemilu, sehingga mereka tidak lagi menjadi satu-satunya penentu nasib calon yang telah dipilih oleh rakyat.
Kita juga perlu mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses internal partai politik. Setiap keputusan yang diambil oleh partai, terutama yang berdampak langsung pada hasil pemilu, haruslah terbuka untuk diaudit dan dipertanyakan oleh publik. Partai tidak boleh bertindak seolah-olah mereka adalah entitas yang kebal terhadap pengawasan, karena mereka memainkan peran yang sangat penting dalam demokrasi kita.
Pada akhirnya, kasus Gus Gopong harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua bahwa demokrasi tidak hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang bagaimana kita melindungi suara rakyat dari intervensi yang tidak perlu. Jika kita ingin melihat demokrasi yang benar-benar bekerja untuk rakyat, maka kita harus berani menuntut reformasi dalam sistem politik kita, agar demokrasi tidak lagi tumpul karena kebijakan partai.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News