
BERITA – Vatican, kematian Paus Fransiskus pada usia 88 tahun menghentak dunia (21/04/25). Sosok yang membawa angin reformasi ke Gereja Katolik itu meninggalkan warisan inklusivitas, tetapi juga pertanyaan besar: Siapa yang akan memimpin 1,3 miliar umat Katolik selanjutnya?
Di balik tembok tinggi Vatikan, 120 kardinal dari seluruh dunia akan berkumpul dalam konklaf—ritual rahasia berusia delapan abad—untuk memilih pemimpin baru. Tradisi menyebut, “Dia yang masuk konklaf sebagai favorit, sering keluar hanya sebagai kardinal.” Tapi kali ini, sembilan nama mencuat sebagai papabili (calon kuat). Siapa mereka, dan apa yang membuat mereka istimewa?
Dari pelabuhan Marseille, Prancis, Jean-Marc Aveline (66) muncul sebagai kandidat progresif. Dijuluki “Yohanes XXIV” karena gaya reformasinya mirip Paus Yohanes XXIII, Aveline adalah pendukung setia Fransiskus. “Gereja harus menjadi rumah bagi semua, terutama para imigran,” ujarnya dalam konferensi Mediterania 2023.
Lahir di Aljazair dari keluarga Spanyol, Aveline fasih merangkul multikulturalisme. Namun, bahasanya terbatas—ia tak menguasai Italia, bahasa resmi Vatikan. Jika terpilih, ia akan menjadi paus Prancis pertama sejak 1300-an.
Dari Budapest, Hungaria, Péter Erdő (72) membawa pesona diplomatik. Konservatif dalam doktrin, tetapi pragmatis dalam politik, Erdő pernah menolak seruan Fransiskus untuk menerima pengungsi pada 2015. “Itu seperti mendukung perdagangan manusia,” katanya, menyelaraskan diri dengan Perdana Menteri Viktor Orbán.
Namun, Erdő fasih lima bahasa, termasuk Rusia—aset berharga untuk mendamaikan Gereja dengan Ortodoks Timur. “Dia mungkin kompromi terbaik antara tradisi dan modernitas,” kata seorang sumber Vatikan.
Mario Grech (68), sekretaris jenderal Sinode Uskup, adalah mantan konservatif yang berubah jadi progresif. Pada 2014, ia mengguncang Gereja dengan pidato tentang penerimaan umat LGBT. “Kita harus bergerak melampaui nostalgia masa lalu,” tegasnya.
Tapi langkahnya tak selalu mulus. Kardinal Gerhard Müller pernah menuduhnya “melanggar doktrin.” Grech hanya tersenyum: “Perubahan selalu menimbulkan resistensi.”
Uskup Agung Barcelona, Juan José Omella (79), adalah wajah keadilan sosial. “Lihatlah dunia melalui mata orang miskin,” katanya. Tapi kepemimpinannya diuji skandal pelecehan seksual di Spanyol. Sebuah laporan independen menyebut 200.000 korban anak, meski Gereja hanya mengakui 927 kasus.
Omella, anggota “kabinet” sembilan kardinal Fransiskus, berjanji: “Kami akan memperbaiki kesalahan, bukan menyalahkan.”
Pietro Parolin (70), Sekretaris Negara Vatikan, adalah arsitek di balik rekonsiliasi dengan Tiongkok. “Dialog lebih baik daripada konfrontasi,” ujarnya. Konservatif mengecamnya karena kompromi dengan Beijing, tetapi Parolin bertahan: “Ini untuk menghindari perpecahan.”
Jika terpilih, Parolin akan menjadi paus Italia pertama sejak 1978. “Dia mungkin pilihan aman untuk transisi yang mulus,” kata analis Vatikan.
Dari Filipina, Luis Antonio Tagle (67) dijuluki “Fransiskus Asia” karena dedikasinya pada kaum marginal. Tapi kariernya ternoda skandal Caritas Internationalis 2022, saat Fransiskus membubarkan kepemimpinannya karena tuduhan intimidasi.
Tagle, yang fasih empat bahasa, tetap optimis: “Kegagalan adalah bagian dari perjalanan.” Dukungannya di Asia dan Amerika Latin bisa menjadi kunci.
Joseph Tobin (72), Uskup Agung Newark, adalah kandidat progresif AS pertama sejak abad ke-15. “Gereja harus membuka pintu bagi LGBT+,” ujarnya. Tobin juga berhasil membersihkan nama keuskupannya dari skandal Theodore McCarrick.
Tapi tradisi anti-Amerika di Vatikan masih kuat. “AS dianggap terlalu dominan secara politik,” kata seorang kardinal anonim.
Peter Turkson (76) dari Ghana adalah suara Afrika yang vokal. “Gereja tumbuh di Selatan Global, bukan Eropa yang sekuler,” katanya. Mantan kepala Dikasteri Keadilan ini adalah ahli perubahan iklim yang kerap berbicara di forum Davos.
Tapi ambisinya dianggap terlalu mencolok. “Saya berdoa agar tidak terpilih,” katanya pada BBC—kalimat yang justru membuat spekulasi makin panas.
Matteo Zuppi (69), Uskup Agung Bologna, dijuluki “Fransiskus ala Italia.” Ia naik sepeda ke gereja, memediasi perdamaian Mozambik, dan baru saja pulang dari misi damai di Ukraina. “Kita perlu mendengarkan, bukan menghakimi,” katanya.
Tapi Zuppi menghadapi kritik karena lambat menangani skandal pelecehan di Italia. “Reformasi butuh waktu,” jawabnya.
Menurut Vatican Insider, konklaf kali ini adalah pertarungan dua kubu: progresif (penerus Fransiskus) vs konservatif (yang ingin kembali ke tradisi). Namun, kandidat seperti Parolin dan Erdő mungkin menjadi jalan tengah.
Faktor Penentu:
Kesehatan: Usia rata-rata kardinal adalah 72 tahun—kandidat di bawah 70 seperti Aveline atau Tagle lebih diuntungkan.
Geopolitik: 60% umat Katolik kini berada di Global South. Tagle (Asia) atau Turkson (Afrika) bisa jadi kejutan.
Skandal: Pelecehan seksual dan korupsi finansial Vatikan masih membayangi.
Konklaf ini bukan sekadar pemilihan, tapi pertarungan untuk jiwa Gereja,” ucap Kardinal Georg Gänswein, mantan sekretaris Paus Benediktus XVI. Siapapun yang menang, warisan Fransiskus akan terus bergema atau mungkin, diuji.(*/Red)
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News