Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Gagalnya Pelantikan Ach. Ghufron Sirodj dan Kewenangan Partai Politik Terhadap Caleg Terpilih

Foto Istimewa

Penulis : Muhammad Badril Umam 

Pelitaonline.co – Kasus gagalnya Ach. Ghufron Sirodj, calon legislatif (caleg) terpilih DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di daerah pemilihan Jember-Lumajang, yang batal dilantik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena pemecatan oleh partai, membuka babak baru perdebatan soal hak caleg terpilih dan peran partai politik dalam proses pelantikan.

Pria yang akrab di sapa Gus Gopong ini, memperoleh suara terbanyak kedua di Dapilnya dan maju dengan nomor urut 5, tiba-tiba harus menghadapi realitas pahit. Meski dipilih oleh ribuan konstituennya, ia harus kehilangan kesempatan dilantik karena keputusan sepihak partai yang mengeluarkannya dari keanggotaan.

Namun, langkah KPU yang tunduk pada pemecatan oleh partai ini patut dipertanyakan, baik secara hukum maupun moral. Dalam konteks perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), posisi seorang calon legislatif yang telah dipilih oleh rakyat seharusnya lebih kuat dibandingkan kedudukannya di dalam partai politik.

Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana partai politik memiliki otoritas untuk mencabut hak seorang caleg terpilih yang telah mendapatkan mandat dari rakyat?

Peran partai politik dalam proses pemilu memang sangat penting. Mereka adalah entitas yang menyaring, memilih, dan mengajukan kandidat untuk bersaing dalam pemilihan. Sebagai organisasi politik, partai juga memiliki aturan internal yang harus diikuti oleh kadernya, dan tindakan disipliner seperti pemecatan adalah hak prerogatif partai.

Namun, apakah hak tersebut dapat serta-merta digunakan untuk menghalangi seorang caleg yang telah dipilih oleh rakyat dari menjalankan mandatnya?

Pemilihan umum di Indonesia diselenggarakan berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Ini berarti, setelah seorang caleg terpilih dalam Pemilu, ia tidak hanya menjadi representasi partai, tetapi juga menjadi wakil rakyat.

Hubungan antara seorang caleg terpilih dan partai politik memang tetap ada, tetapi seharusnya tidak lagi bersifat mutlak. Pemilih dalam pemilu adalah rakyat, bukan partai politik. Dengan demikian, hak rakyat yang telah memilih Gus Gopong seharusnya menjadi pertimbangan utama sebelum KPU mengambil keputusan untuk membatalkan pelantikannya.

Jika kita melihat lebih jauh, UU Pemilu dan aturan KPU jelas menegaskan bahwa pemecatan oleh partai tidak bisa secara otomatis menggugurkan hak seorang caleg terpilih untuk dilantik. Ada mekanisme hukum yang perlu ditempuh, termasuk kemungkinan Pergantian Antar Waktu (PAW) setelah pelantikan berlangsung.

PAW hanya bisa dilakukan jika anggota legislatif telah dilantik dan kemudian terbukti melakukan pelanggaran yang melibatkan sanksi hukum atau pelanggaran serius terhadap aturan partai.

Pelantikan seorang caleg terpilih adalah hak yang diatur oleh undang-undang, bukan hak yang sepenuhnya berada di tangan partai politik. Menurut peraturan yang berlaku, setelah seorang calon legislatif dinyatakan terpilih dalam pemilu, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu bertanggung jawab atas penetapan dan pelantikan calon terpilih tersebut.

Proses ini adalah langkah formal yang dijamin oleh hukum, di mana partai politik tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengintervensi, terutama jika caleg tersebut telah lolos melalui proses pemilihan yang sah.

Dalam kasus Gus Gopong, meskipun ia telah dipecat oleh PKB, partai tersebut seharusnya tidak memiliki hak untuk menghalangi proses pelantikan. Jika memang ada persoalan internal, misalnya ketidakpatuhan terhadap aturan partai, mekanisme penyelesaian konflik tersebut harus dilakukan setelah pelantikan, bukan dengan mencegah caleg yang sudah dipilih oleh rakyat untuk dilantik.

PAW adalah prosedur yang sah untuk menyelesaikan persoalan seperti ini, namun sekali lagi, PAW hanya dapat dilakukan setelah pelantikan berlangsung.

Kasus Gus Gopong ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara hak partai politik dan hak rakyat. Setelah pemilu berlangsung dan hasilnya diumumkan, hak rakyat yang memilih seorang caleg seharusnya tidak bisa diabaikan begitu saja oleh keputusan internal partai. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah yang tertinggi, dan seharusnya KPU berdiri di garis depan untuk melindungi hak tersebut.

Sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen, KPU memegang peran krusial dalam menjaga integritas dan independensi proses demokrasi di Indonesia. Keputusan KPU untuk tidak melantik Gus Gopong berdasarkan pemecatan dari partai menimbulkan tanda tanya mengenai sejauh mana KPU tunduk pada tekanan partai politik.

Padahal, tugas KPU adalah memastikan bahwa proses pemilu berjalan sesuai dengan aturan dan menjaga agar hak-hak konstituen yang telah memberikan suaranya tidak terabaikan.

Jika KPU menyerah pada keputusan internal partai, ini bisa menciptakan preseden yang berbahaya. Partai politik bisa saja menggunakan pemecatan sebagai alat politik untuk menyingkirkan kader yang tidak disukai, bahkan setelah kader tersebut mendapatkan kepercayaan dari rakyat melalui pemilu. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang sejatinya berpusat pada suara rakyat, bukan pada kepentingan internal partai.

KPU harus mampu menunjukkan independensi dalam menangani kasus seperti ini. Kewenangan untuk melantik seorang caleg terpilih ada di tangan KPU, bukan di tangan partai politik. Keputusan untuk membatalkan pelantikan hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran hukum yang jelas, bukan hanya berdasarkan keputusan internal partai.

Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh Partai Politik

Kasus ini juga menunjukkan potensi penyalahgunaan kekuasaan di internal partai politik. Jika partai dapat dengan mudah memecat seorang caleg yang telah dipilih oleh rakyat dan mencegah pelantikannya, maka demokrasi di Indonesia berada dalam ancaman serius. Partai politik bisa saja menggunakan pemecatan sebagai alat untuk mengontrol kader mereka secara otoriter, tanpa memperhitungkan suara rakyat yang memilih caleg tersebut.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, suara rakyat harus menjadi yang tertinggi. Caleg yang terpilih melalui proses pemilu yang sah harus dilindungi haknya untuk dilantik dan menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Partai politik boleh saja melakukan tindakan disipliner terhadap kadernya, tetapi tindakan tersebut harus sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, dan tidak boleh mengesampingkan hak-hak demokratis seorang caleg terpilih.

Dalam kasus Ach. Ghufron Sirodj (Gus Gopong), pelajaran penting yang bisa diambil adalah bahwa hak seorang caleg terpilih tidak bisa dikesampingkan hanya karena pemecatan internal partai. Suara rakyat adalah suara tertinggi dalam demokrasi, dan partai politik tidak boleh menjadi penghalang bagi mandat yang telah diberikan oleh konstituen. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu harus menegakkan aturan yang ada, termasuk melindungi hak caleg terpilih untuk dilantik sebelum partai politik bisa mengajukan PAW.

Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Partai politik akan merasa memiliki kendali penuh terhadap kadernya, bahkan setelah kader tersebut dipilih oleh rakyat. Padahal, ketika caleg terpilih, ia adalah wakil rakyat, bukan sekadar wakil partai. Pelantikan caleg terpilih adalah hak yang dijamin oleh undang-undang, dan partai politik tidak boleh menghalanginya tanpa alasan yang benar-benar sah secara hukum.

Sudah saatnya KPU menegakkan aturan dengan tegas, dan partai politik menghormati hak-hak demokratis yang telah diberikan oleh rakyat.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Berita Serupa