Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Tupperware Gulung Tikar: Kisah Ikon Dapur Emak-Emak Berakhir Pahit

Berita Terkini – Tupperware, merek wadah plastik yang selama puluhan tahun jadi kebanggaan emak-emak Indonesia, resmi mengumumkan penutupan operasionalnya di Indonesia per 31 Januari 2025. Kabar ini bagaikan petir di siang bolong, menyisakan duka mendalam bagi penggemar setianya. Fenomena “Tupperware gulung tikar” bukan sekadar akhir dari sebuah merek, tetapi juga cerminan dinamika pasar yang kejam dan tantangan bisnis di era modern.

Artikel ini akan mengupas alasan di balik kebangkrutan Tupperware, respons Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) soal aduan pemutusan hubungan kerja (PHK), serta reaksi emak-emak yang kini trending di media sosial.

Mengapa Tupperware Gulung Tikar?

Tupperware, yang lahir pada 1946 di Amerika Serikat berkat inovasi Earl Silas Tupper, pernah menjadi simbol modernisasi dapur. Dengan desain wadah tahan lama dan penutup “burping seal” yang ikonik, Tupperware merebut hati ibu-ibu di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, setelah hampir 80 tahun berjaya, perusahaan ini tersandung krisis yang berujung pada kebangkrutan. Berikut beberapa alasan utama mengapa Tupperware gulung tikar:

  • Persaingan Ketat dari Merek Lokal dan Global: Tupperware kalah bersaing dengan merek seperti Lion Star, merek lokal Indonesia yang berdiri sejak 1972, serta brand internasional seperti Lock & Lock dan Corkcicle. Merek-merek ini menawarkan produk serupa dengan harga lebih terjangkau atau desain yang lebih kekinian, menarik perhatian konsumen muda.
  • Gagal Beradaptasi dengan Tren Digital: Model penjualan langsung melalui “Pesta Tupperware” yang jadi andalan di era 1980-an kini kehilangan pesonanya. Tupperware terlambat beralih ke platform e-commerce dan media sosial, sementara kompetitornya sudah mendominasi pasar daring.
  • Penurunan Penjualan dan Utang Membengkak: Berdasarkan laporan keuangan, penjualan Tupperware anjlok 18% pada 2022, hanya mencapai US$1,3 miliar. Utang yang menumpuk dan biaya operasional tinggi memperparah kondisi keuangan perusahaan.
  • Perubahan Gaya Hidup Konsumen: Generasi Z dan milenial cenderung memilih produk ramah lingkungan dan multifungsi. Tupperware dinilai kurang inovatif dalam menghadirkan solusi yang sesuai dengan tren sustainability.


Krisis ini memuncak ketika Tupperware Brands Corporation mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat pada September 2024. Meski sempat bangkit melalui restrukturisasi, langkah itu tak cukup menyelamatkan operasional di Indonesia.

Kemnaker dan Aduan PHK: Apa Kata Pemerintah?

Penutupan Tupperware di Indonesia menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana nasib karyawannya? Hingga April 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan belum menerima aduan resmi terkait PHK massal dari Tupperware Indonesia.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mengungkapkan bahwa tidak semua kasus PHK harus dilaporkan ke Kemnaker. Hal ini terutama jika sudah ada kesepakatan antara pekerja dan perusahaan.

Namun, absennya aduan tidak berarti situasi berjalan mulus. Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, model bisnis Tupperware yang mengandalkan sistem multi-level marketing (MLM) menyulitkan pelacakan data buruh yang terdampak.

Banyak tenaga penjual Tupperware bukan karyawan tetap, melainkan distributor independen. Hal ini membuat isu PHK menjadi kabur dan kurang mendapat sorotan. Kemnaker sendiri berjanji akan memantau perkembangan lebih lanjut untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi sesuai Undang-Undang Cipta Kerja.

Reaksi Emak-Emak Tupperware Gulung Tikar: Duka dan Nostalgia di Media Sosial

Kabar Tupperware gulung tikar memicu gelombang emosi di kalangan emak-emak, terutama di platform media sosial seperti Instagram dan X. Netizen Indonesia, yang akrab disapa +62, ramai-ramai mengungkapkan kesedihan sekaligus nostalgia. Unggahan resmi Tupperware Indonesia yang mengucapkan salam perpisahan setelah 33 tahun beroperasi dibanjiri komentar haru. Berikut beberapa reaksi yang mencuri perhatian:

  • Nostalgia Masa Lalu: Banyak emak-emak mengenang masa kecil saat ibu mereka bangga memamerkan koleksi Tupperware di dapur. “Sampai sekarang masih pakai Tupperware, awet banget,” tulis seorang pengguna Instagram.
  • Kekhawatiran Stok Produk: Beberapa netizen panik, bertanya apakah masih ada kesempatan membeli produk Tupperware sebelum benar-benar lenyap dari pasaran. “Masih ada yang dijual gak? Please, aku belum koleksi semua!” ujar akun lain.
  • Kesedihan atas Kehilangan Ikon: “Tupperware bukan cuma wadah, tapi bagian dari cerita keluarga,” kata seorang warganet, mencerminkan betapa dalamnya ikatan emosional dengan merek ini.

Trending di X, hashtag #TupperwareIndonesia dan #EmakEmakSedih menjadi wadah curhat kolektif. Tak sedikit yang membagikan foto koleksi Tupperware mereka, dari botol minum klasik hingga wadah makanan berwarna pastel. Reaksi ini menunjukkan bahwa Tupperware bukan sekadar produk, tetapi simbol kenangan dan kehangatan rumah tangga.

Apa Pelajaran dari Kebangkrutan Tupperware?

Kisah Tupperware gulung tikar memberikan sejumlah pelajaran berharga, baik bagi pelaku bisnis maupun konsumen. Pertama, inovasi adalah kunci bertahan di tengah persaingan. Tupperware gagal menangkap perubahan perilaku konsumen dan tren digital, yang kini menjadi tulang punggung pemasaran modern. Kedua, kepekaan terhadap isu lingkungan sangat penting. Konsumen masa kini lebih memilih produk yang mendukung gaya hidup berkelanjutan, sesuatu yang kurang dioptimalkan Tupperware.

Bagi emak-emak penggemar Tupperware, kepergian merek ini mungkin terasa seperti kehilangan sahabat lama. Namun, ini juga jadi pengingat bahwa pasar terus berubah, dan merek baru akan selalu muncul untuk mengisi kekosongan. Merek lokal seperti Lion Star, misalnya, kini makin digemari karena kualitas dan harga yang kompetitif.

Kesimpulan

Tupperware gulung tikar bukan hanya akhir dari sebuah era, tetapi juga cerminan betapa cepatnya dunia bisnis berputar. Alasan kebangkrutannya—persaingan ketat, gagal beradaptasi, dan masalah keuangan—menjadi pelajaran penting bagi semua pelaku industri.

Sementara itu, Kemnaker masih menunggu laporan resmi soal PHK, menunjukkan kompleksitas model bisnis Tupperware. Di sisi lain, reaksi emak-emak yang penuh nostalgia menggarisbawahi ikatan emosional yang dibangun merek ini selama 33 tahun di Indonesia.

Meski Tupperware pamit, kenangan tentang wadah-wadah kokoh yang menemani momen keluarga akan terus hidup di hati penggemarnya.

 

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Berita Serupa