
VIRAL – Perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah (Lebaran 2025), memunculkan sebuah tren tari unik bernama “Tarian Pemanggil THR” mencuri perhatian publik Indonesia. Tarian ini menyebar dengan cepat melalui berbagai platform media sosial populer seperti TikTok, Instagram, dan Twitter.
Tarian ini memiliki ciri khas gerakan melompat ritmis maju dan mundur, yang dikombinasikan dengan gerakan kaki serempak ke arah kanan dan kiri. Umumnya, tarian diiringi oleh musik dengan tempo yang cepat dan energik.
Banyak pengguna media sosial yang membuat dan membagikan video mereka melakukan tarian ini, seringkali secara berkelompok di berbagai lokasi seperti lapangan, rumah, hingga lingkungan perkantoran.
Secara humoris atau Penuh Harapan, para partisipan menyebut tarian ini sebagai cara untuk “memanggil” atau mempercepat pencairan Tunjangan Hari Raya (THR), sebuah bonus yang dinantikan banyak pekerja di Indonesia menjelang Lebaran bahkan ketika suasana lebaran idul fitri berlangsung.
Di tengah popularitasnya, “Tarian Pemanggil THR” mulai menuai perdebatan. Sejumlah pihak menyoroti adanya kemiripan gerakan tarian ini dengan Tarian Hora, sebuah tarian tradisional yang identik dengan budaya Yahudi. Perbandingan video antara kedua tarian pun mulai bermunculan di media sosial. (Lanjut Baca Hal. 2)
Kontroversi yang muncul mendorong perbandingan lebih detail antara tren viral Lebaran ini dengan Tarian Hora dari tradisi Yahudi.
Tarian Hora dikenal sebagai tarian tradisional dalam budaya Yahudi, sering kali ditampilkan dalam suasana perayaan seperti pernikahan, bar/bat mitzvah, dan festival keagamaan lainnya. Gerakannya khas, biasanya membentuk lingkaran dengan para penari bergandengan tangan, melangkah ke samping (seringkali ke kanan), diikuti dengan lompatan atau hentakan kaki. Tarian ini melambangkan kebersamaan, sukacita, dan persatuan komunitas.
Beberapa warganet dan pengamat sosial menganggap kemiripan gerakan “Tarian Pemanggil THR” (lompatan maju-mundur, gerakan kaki ke samping) dengan Hora terlalu signifikan untuk diabaikan.
Muncul kekhawatiran bahwa ini bisa menjadi bentuk apropriasi budaya yang tidak disadari atau bahkan dianggap sebagai “penjajahan akidah melalui budaya” oleh kelompok yang lebih konservatif.
Di sisi lain, banyak kreator konten dan warganet yang membela tren ini. Mereka berpendapat bahwa tarian tersebut hanyalah bentuk ekspresi kegembiraan dan kreativitas dalam menyambut Lebaran dan THR.
Menurut pandangan ini, kemiripan gerakan bersifat kebetulan atau universal, dan tidak seharusnya dikaitkan dengan isu agama, politik, atau budaya secara mendalam. Tarian ini dilihat murni sebagai hiburan dan candaan khas Lebaran.
Polemik seputar “Tarian Pemanggil THR” mengundang tanggapan dari tokoh agama dan pakar budaya, serta memicu perdebatan lebih lanjut di kalangan masyarakat.
Diskusi di media sosial terbagi menjadi dua kubu utama:
Kelompok Pro-Tren: Menganggap tarian ini sebagai hiburan semata, lelucon, dan kreativitas spontan menyambut Lebaran tanpa muatan ideologis atau keagamaan tertentu.
Kelompok Kontra-Tren: Menyerukan kewaspadaan terhadap pengaruh budaya asing yang dianggap bisa mengikis tradisi lokal atau nilai-nilai Islami saat Lebaran. Mereka menekankan agar perayaan Idul Fitri diisi dengan kegiatan yang lebih bernuansa religius dan tradisional.
Fenomena “Tarian Pemanggil THR” menjadi ilustrasi bagaimana budaya global dapat bersinggungan dengan ekspresi lokal di era digital, terutama pada momen perayaan besar seperti Idul Fitri.
Meskipun menimbulkan kontroversi terkait kemiripannya dengan Tarian Hora, tren ini juga menunjukkan dinamika masyarakat dalam mengekspresikan kegembiraan dan harapan.
Penting bagi masyarakat untuk menyikapi tren semacam ini dengan bijak, mempertimbangkan aspek hiburan, kreativitas, serta potensi sensitivitas budaya dan agama. Edukasi mengenai literasi budaya dan penghargaan terhadap tradisi lokal tetap relevan.(*/red)
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News