
Berita Terkini – Skandal dugaan eksploitasi pemain sirkus oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) yang terkait dengan Taman Safari Indonesia (TSI) telah mengguncang publik. Berita ini viral di media sosial setelah mantan pemain sirkus mengungkap pengalaman pahit mereka, termasuk kekerasan fisik, psikis, hingga perbudakan. Komisi III DPR pun bergerak cepat dengan memanggil OCI untuk klarifikasi pada 21 April 2025.
Artikel ini mengupas kasus eksploitasi pemain sirkus, respons DPR, dan dampaknya terhadap Taman Safari.
Latar Belakang Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus
Kasus ini mencuat setelah sejumlah mantan pemain OCI mengadu ke Kementerian Hukum dan HAM pada 15 April 2025. Mereka, yang sebagian besar perempuan paruh baya, mengaku mengalami eksploitasi pemain sirkus sejak anak-anak pada era 1970-an hingga 1990-an. Pengakuan mereka viral di media sosial, memicu kemarahan publik dan seruan boikot terhadap Taman Safari, yang diduga terkait dengan OCI melalui hubungan kepemilikan keluarga Manansang.
Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menyatakan bahwa kesaksian para korban menunjukkan pelanggaran HAM serius, seperti hilangnya identitas, kekerasan, dan perbudakan. Salah satu korban, Vivi, mengaku disetrum dan dirantai, bahkan mengalami kekerasan saat hamil. Pengakuan ini memperkuat dugaan bahwa eksploitasi pemain sirkus di OCI terjadi secara sistematis selama puluhan tahun.
Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada 21 April 2025, memanggil OCI, kuasa hukum korban, mantan pemain sirkus, dan Dirreskrimum Polda Jawa Barat. Wakil Ketua Komisi III, Ahmad Sahroni, menyoroti pentingnya mengusut kasus ini, yang telah berlangsung selama 28 tahun. Ia menyebut kasus eksploitasi pemain sirkus sebagai tamparan, terutama karena terjadi di destinasi wisata keluarga seperti Taman Safari.
Dalam rapat, Jansen Manansang, pemilik OCI dan TSI, membantah tuduhan eksploitasi. Ia mengklaim pemberitaan di media tidak sepenuhnya benar dan merugikan ribuan karyawan TSI. Sahroni mencatat bahwa OCI mengaku telah memberikan perawatan kepada korban, seperti Hilda, yang menerima biaya pengobatan Rp36 juta setelah kecelakaan. Namun, korban tetap menuntut keadilan, meskipun Sahroni menyebut kasus ini sulit dilanjutkan karena sudah kadaluarsa secara hukum.
Berikut adalah beberapa fakta penting terkait kasus ini berdasarkan laporan media dan pernyataan resmi:
Taman Safari Indonesia, yang didirikan oleh keluarga Manansang, berulang kali membantah keterlibatan dalam eksploitasi pemain sirkus. Komisaris TSI, Tony Sumampauw, menegaskan bahwa OCI dan TSI adalah dua badan hukum berbeda. Ia juga mempertanyakan bukti kekerasan dan menyebut tuduhan sebagai fitnah. Namun, hubungan keluarga antara pendiri OCI (Hadi Manansang) dan TSI membuat publik sulit memisahkan keduanya.
Media sosial menjadi ajang perdebatan sengit. Banyak netizen menyerukan boikot Taman Safari, sementara TSI menyebut seruan ini salah sasaran. Dalam siaran pers pada 18 April 2025, TSI meminta masyarakat bersikap bijak dan tidak terpancing informasi tanpa bukti. Meski demikian, reputasi Taman Safari sebagai destinasi wisata keluarga terkena imbas signifikan.
Kementerian HAM, bersama Komnas HAM dan Kementerian PPPA, berkoordinasi untuk mengusut kasus ini. Mugiyanto menegaskan bahwa pemulihan mental korban menjadi prioritas untuk mencegah kasus serupa berulang. Kuasa hukum korban, Muhammad Sholeh, mendorong pembentukan tim pencari fakta lintas sektoral untuk mengungkap kebenaran.
Korban, seperti Fifi dan Butet, berharap keadilan atas penderitaan mereka. Mereka ingin pelaku bertanggung jawab dan meminta Taman Safari ditutup karena dianggap dibangun dari eksploitasi. Namun, dengan status kadaluarsa hukum, harapan mereka kini bergantung pada tekanan publik dan langkah non-hukum, seperti kompensasi atau permintaan maaf resmi.
Kasus eksploitasi pemain sirkus ini mencerminkan tren global tentang kesadaran HAM di industri hiburan. Di media sosial, tagar seperti #TamanSafari dan #Eksploitasi ramai digunakan, menunjukkan sensitivitas publik terhadap isu ini. Tren serupa terlihat di luar negeri, seperti kasus eksploitasi pekerja migran atau anak di industri hiburan, yang kini mendapat sorotan lebih tajam.
Selain itu, kasus ini memicu diskusi tentang tanggung jawab korporasi. Publik menuntut transparansi dari perusahaan besar seperti TSI, terutama yang terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu. Tekanan ini diperkuat oleh media daring, seperti YouTube Forum Keadilan TV, yang mengamplifikasi suara korban.
Skandal eksploitasi pemain sirkus oleh OCI telah menyeret Taman Safari ke pusaran kontroversi. Meskipun DPR telah memanggil OCI dan mendengar keterangan kedua belah pihak, tantangan hukum dan bukti yang terbatas menyulitkan penyelesaian. Namun, langkah Kementerian HAM dan tekanan publik memberikan harapan bagi korban untuk mendapat keadilan, setidaknya melalui pemulihan psikologis dan pengakuan atas penderitaan mereka.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pelanggaran HAM, meski terjadi puluhan tahun lalu, tetap relevan untuk diusut. Publik kini menanti apakah Taman Safari dan OCI mampu memberikan klarifikasi yang memuaskan atau bahkan langkah nyata untuk menebus kesalahan masa lalu. Dengan sorotan media dan media sosial yang terus membesar, isu eksploitasi pemain sirkus ini tidak akan mudah reda.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News