Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Pendidikan Disiplin Militer: Solusi atau Masalah Baru ala Dedi Mulyadi?

 

Berita Terkini – Pendidikan disiplin militer tengah jadi perbincangan hangat di Indonesia, terutama setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluncurkan kebijakan kontroversial ini pada Mei 2025. Program ini mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk pembinaan karakter selama enam bulan. Tujuannya mulia: membentuk disiplin, tanggung jawab, dan mencegah kenakalan remaja.

Namun, benarkah pendidikan disiplin militer ini solusi jitu, atau justru menambah masalah baru? Mari kita bedah kebijakan ini dengan santai, tapi tetap kritis, berdasarkan data terbaru dan opini para ahli.

Apa Itu Pendidikan Disiplin Militer ala Dedi Mulyadi?

Dedi Mulyadi, yang akrab disapa Kang Dedi, memperkenalkan pendidikan disiplin militer sebagai respons atas maraknya kenakalan remaja di Jawa Barat, seperti tawuran, geng motor, hingga kecanduan game. Mulai 2 Mei 2025, siswa SMP dan SMA yang dianggap “nakal” dibina di 30-40 barak militer yang disiapkan TNI. Program ini berjalan enam bulan, tanpa sekolah formal, fokus pada pembentukan karakter dan bela negara. Siswa dipilih berdasarkan kesepakatan sekolah dan orang tua, dengan kriteria seperti:

  • Sering tawuran atau terlibat geng motor.
  • Kecanduan game seperti Mobile Legends hingga bolos sekolah.
  • Membandel, suka melawan orang tua, atau mengganggu di sekolah.

Dedi menegaskan, ini bukan pelatihan perang, melainkan pendidikan karakter. TNI dan Polri dilibatkan untuk menjemput siswa langsung dari rumah. Menariknya, program ini mendapat lampu hijau dari TNI, dengan Kodam III/Siliwangi menandatangani kerja sama pada April 2025.

Dukungan dan Optimisme Kebijakan

Sejumlah pihak menyambut baik pendidikan disiplin militer ini. Menteri HAM Natalius Pigai, misalnya, menyebut kebijakan ini tidak melanggar HAM selama bebas dari hukuman fisik. Ia bahkan mendorong program ini diterapkan nasional jika terbukti sukses, karena bisa membentuk mental, disiplin, dan tanggung jawab siswa. Pigai melihatnya sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, juga mendukung, menyebut program ini sebagai upaya negara menyelamatkan generasi muda dari “degradasi moral”. Di lapangan, beberapa orang tua secara sukarela menitipkan anak mereka ke barak, berharap perubahan perilaku positif. Data awal menunjukkan, di Purwakarta, 39 siswa SMP sudah mengikuti program ini sejak 1 Mei 2025, dan minat orang tua cukup tinggi, dengan ribuan peminat dilaporkan pada Mei 2025.

Kritik Tajam dari Berbagai Sudut

Meski menuai dukungan, pendidikan disiplin militer ini tak luput dari kritik pedas. Banyak ahli dan organisasi menilai kebijakan ini salah kaprah. Berikut beberapa sorotan kritis:

Melanggar Hak Anak?

Pakar hukum pidana anak dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, menyebut kebijakan ini berpotensi melanggar UU Perlindungan Anak No. 35/2014, khususnya Pasal 9 yang menjamin perlindungan anak dari kekerasan di satuan pendidikan. Menurutnya, pendekatan militeristik bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (UNCRC) yang diratifikasi Indonesia.

Solusi Instan, Bukan Akar Masalah

Yayasan PKPA menilai, pendidikan disiplin militer tidak menyentuh akar masalah kenakalan remaja, seperti kegagalan pengasuhan keluarga atau minimnya intervensi berbasis perlindungan anak. Direktur PKPA, Keumala Dewi, menyebut anak-anak ini sering kali korban pengabaian atau disfungsi keluarga, bukan pelaku yang perlu “digembleng”.

Risiko Psikologis dan Militerisasi

Pakar pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin, khawatir program ini membuat siswa kehilangan kreativitas dan inisiatif. “Anak yang terlalu disiplin cuma menunggu perintah, seperti pion. Ini bahaya buat demokrasi,” katanya. Ia juga memperingatkan risiko siswa jadi lebih agresif karena terpapar nilai-nilai militer yang tak sesuai usia mereka.

Wakil Menteri Pendidikan Atip Latipulhayat menambahkan, sekolah sudah punya mekanisme bimbingan konseling (BK) untuk menangani siswa nakal. Pendekatan militer justru bisa menciptakan konotasi negatif, seperti “militerisasi pendidikan”.

Data Terbaru: Pro dan Kontra di Lapangan

Hingga Mei 2025, program pendidikan disiplin militer telah berjalan di Purwakarta dan Bandung, dengan total 60 siswa terlibat. Di Purwakarta, 30 siswa SMP dibina di Resimen Artileri Medan, sementara 30 siswa lainnya di Bandung mengikuti program serupa. Respons masyarakat terbelah. Sebuah postingan di X dari @tvOneNews pada 9 Mei 2025 menyebut sebagian guru dan siswa mendukung, tapi banyak pihak meminta evaluasi mendalam.

Laporan awal menunjukkan beberapa siswa menunjukkan perubahan positif, seperti lebih patuh dan teratur. Namun, tidak ada data resmi yang mengukur dampak jangka panjang. Sementara itu, Komnas HAM dan DPR RI, termasuk Anggota Komisi X Bonnie Triyana, meminta kebijakan ini dikaji ulang karena minim dasar hukum dan kurikulum jelas.

Solusi atau Masalah Baru?

Pertanyaan besarnya: apakah pendidikan disiplin militer ini solusi efektif atau justru menambah masalah? Dari sisi positif, program ini bisa jadi pukulan telak bagi kenakalan remaja yang sulit diatasi sekolah atau keluarga. Dukungan TNI dan antusiasme sebagian orang tua menunjukkan potensi keberhasilan, terutama untuk kasus ekstrem seperti tawuran atau kriminalitas.

Namun, risikonya tak bisa diabaikan. Pendekatan militeristik berpotensi menciptakan trauma psikologis, apalagi tanpa kurikulum yang jelas atau pendampingan psikolog. Mengabaikan akar masalah, seperti disfungsi keluarga atau sistem pendidikan yang terlalu akademis, membuat program ini terasa seperti solusi instan. Belum lagi, pelibatan TNI dalam pendidikan sipil memicu kekhawatiran soal militerisasi, mengingatkan pada era Orde Baru.

Alternatif lain, seperti memperkuat peran guru BK, konseling berbasis psikologi, atau program komunitas yang melibatkan keluarga, mungkin lebih manusiawi dan berkelanjutan. Pendidikan karakter seharusnya lahir dari kesadaran, bukan ketakutan, seperti yang diungkapkan pengamat pendidikan Fahmi.

Apa Langkah Selanjutnya?

Kebijakan pendidikan disiplin militer Dedi Mulyadi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan pendekatan tegas untuk menangani kenakalan remaja. Di sisi lain, tanpa evaluasi mendalam, risikonya bisa lebih besar dari manfaatnya. Pemerintah perlu melibatkan ahli pendidikan, psikolog, dan orang tua untuk menyusun kurikulum yang tidak hanya disiplin, tapi juga peduli pada perkembangan emosional anak.

Data terbaru menunjukkan program ini masih dalam tahap uji coba. Jika ingin diperluas, seperti yang diusulkan Pigai, kajian ilmiah dan regulasi yang kuat harus jadi prioritas. Tanpa itu, pendidikan disiplin militer bisa jadi bumerang, menciptakan generasi yang patuh, tapi kehilangan kreativitas dan kebebasan berpikir. Jadi, solusi atau masalah baru? Jawabannya tergantung bagaimana kebijakan ini dikelola ke depannya.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Berita Serupa