
BONDOWOSO, Pelitaonline.co – “Mas, lokasi wisata Ijen masih jauh ya?” tanyaku pada seorang pemuda yang tengah menyuguhkan kopi kepada pelanggannya di Pertigaan Desa Sumber Gading Kecamatan Sumber Weringin Kabupaten Bondowoso.
“Kira-kira masih 35 kilo meteran, pak!” jawab dia dengan ramah. Mengawali perjalanan para wartawan menuju ke wisata Ijen.
Perjalanan dari Kota Bondowoso sampai ke tempat tersebut membutuhkan waktu 43 menitan. Lumayan jauh. Untunglah jalan yang dilewati aspalnya mulus semua.
Sembari melepaskan penat dan menunggu Samsul seorang pengelola dan sekaligus pemilik warung kopi datang. Aku duduk di kursi booth kedai kopinya.
Saat melihat pajangan toples-toples mungil yang berisi biji kopi sangrai terjejer di etalase, seketika mataku melirik ke daftar menu kopinya.
Decak kagum mulai membuncah dalam hati. Deretan menu minuman kopi yang disajikannya, ternyata, tidak kalah dengan menunya cafe ternama di kota.
Selain menu kopi robusta tubruk yang biasa aku minum setiap pagi, tersedia pula kopi jenis Wine seperti Arabika Wine dan Robusta Wine. Tersedia juga kopi arabika full wash, honey dan blue montain.
Sebelum memesan, Feri pelayan kedai yang sekaligus adik dari Owner menceritakan, khusus Kopi Blue Mountain ini namanya sudah sangat mendunia, karena rasanya yang ringan dan kurangnya rasa pahit.
Awalnya, sejarah bibit kopi blue montain tersebut dibawa oleh penjajah Belanda dari negara Jamaika untuk ditanam di Bondowoso. Sebagai kopi unggulan Kabupaten yang dikenal kota Tape ini, blue mountain memiliki aroma dan rasa yang khas.
“Rasanya kopi blue mountain ini paling beda, Mas. Ada kombinasi rasa asam dengan coklatnya yang sangat kuat,” kata Feri.
Kopi Blue Montain kata Feri, hanya ada di Bondowoso. Cuma ada sekitar 300 hektar lahan yang ditumbuhi kopi di kawasan pegunungan Ijen-Raung itu.
Kabarnya kopi blue mountain dapat dijadikan rasa dasar dari minuman beralkohol Tia Maria.
“Orang luar negeri , terutama di Negara Jepang sangat menyukai kopi blue mountain. Dan 80 persen hasil panennya, memang cuma diekspor ke Jepang,” ujar Feri.
Usai membaca daftar menu kopinya, lalu, aku memilih pesan kopi robusta classic pada si Feri. Alasannya, karena aku sendiri lebih menyukainya daripada kopi arabika. Sudah sangat familiar di lidahku.
Selain itu, harganya juga paling murah daripada yang lain. Cuma tiga ribu rupiah segelasnya. Sambil menunggunya membuatkan kopi robusta classic, aku bertanya soal omset penjualannya selama di masa pandemi COVID 19 ini.
Feri menjelaskan bahwa pendapatannya sehari-hari selama pandemi menurun drastis. “Kalau sepi banget cuma dapat 150 ribu, rata-rata dapat 200 ribu setiap hari. Tapi kalau tidak pandemi rata rata 400 ribuan,” terang dia.
Lokasi booth kedai kopinya Feri yang masih berumur 21 tahun ini berada di lahan parkir Indomaret. Sewa tempatnya sehari 20 ribu rupiah. Namun begitu, Feri sangat mampu membayarnya setiap bulan. “Ya, masih nutut lah, pak!” ungkapnya.
Pemuda Desa yang Berkebudayaan Tinggi
Dalam teori-teori kebudayaan rakyat dikenal dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. Kebudayaan tinggi hanya digunakan oleh kelas borjuis (priyayi) sedang kebudayaan rendah digunakan oleh rakyat kebanyakan. Produk yang dihasilkan oleh kebudayaan tinggi ini tidak bersifat massal. Tetapi terbatas dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Kopi arabika wine, robusta wine, arabika full wash, arabika honey dan arabika blue montain, yang disajikan oleh si Feri itu, sejatinya termasuk kategori konsumsi kebudayaan tinggi.
Jamaknya dikonsumsi oleh komunitas anak muda pengopi di perkotaan demi memenuhi kebutuhan life style -nya dan itu hanya sedikit anak muda yang menjadi penikmatnya.
Kebanyakan anak muda di perkotaan lebih suka meminum kopi kemasan yang diproduksi massal oleh pabrik. Konsumsi massal seperti ini, dalam pandangan teori kritis Horkheimer dan Adorno dikategorikan sebagai kebudayaan pop atau kebudayan rendahan.
Kebalikannya, di Desa Sumber Gading Kecamatan Sumber Weringin kebudayaan tinggi yang berbasis kopi ini sudah menjadi mode produksinya pemuda di sana.
Saat si Samsul (32) sudah datang, seketika ia memintaku untuk mampir kerumahnya. Terlihat diteras rumahnya terdapat biji kopi di kotak penjemuran yang sudah berwarna hitam. Kupikir itu kopi sudah disangrai, ternyata bukan.
“Bukan Mas! Kopi ini selesai dijemur. Memang begitu warnanya kalau yang dijemur kopi petik merah,” jelas Ibunya Samsul menimpali pertanyaanku.
Beliaupun menjelaskan lebih detail lagi bagaimana ia lebih mililih biji kopi yang lebih matang (petik merah) daripada yang masih muda (petik hijau). Walaupun dari proses petik dan pengolahannya lebih lama dan rumit dari biji kopi petik hijau.
“Biar hasilnya bagus, Mas! Dan lebih mahal harganya,” imbuhnya.
Tak berselang lama Samsul keluar menuju ruang tamu menghampiriku untuk menyuguhkan segelas kopi hasil proses hunny.
Samsul menerangkan, proses hunny, yaitu, saat cherry kopi dikupas, maka akan terlihat lapisan transparan yang menyelimuti biji kopi yang bernama mucilage. Mucilage ini adalah bagian yang terpenting untuk proses honey.
“Dalam prosesnya, buah kopi dikupas dan dikeringkan dengan lapisan mucilage yang masih menyelimuti biji kopi tersebut. Lalu saat proses pengeringan, lapisan ini masih menyerap kelembapan dari udara sehingga membuat jadi semakin lengket yang mirip tekstur madu,” jelas Samsul.
“Kopi proses honey cukup sulit untuk dilakukan, tapi kopi yang dihasilkan pastinya sepadan dengan effort yang dikeluarkan,” tambahnya.
Rasa yang biasa ditemukan di dalam proses honey lanjut Samsul, yaitu, sweetness yang sangat tinggi dengan balanced acidity, serta rasa yang lebih jelas dan terdefinisi apabila dibandingkan dengan kopi yang menggunakan proses natural.
Samsul menuturkan, bahwa selama pandemi ini, usaha kopi honey-nya masih bisa diandalkan. Tanpa menyebut berapa penghasilannya, tapi usahanya itu sudah cukup untuk menghidupi keluarganya.
“Rata rata pemuda di desa Sumber Gading, memang memiliki pengetahuan yang memadai atas jenis dan kualitas kopi,” tukasnya.
Seperti halnya Samsul, pemuda di sana cita rasanya juga tinggi terhadap konsumsi kopi.
Atas semua itu, tak heran jika kedai kopinya Feri dan usaha kopinya Samsul tetap bisa bertahan walau diguncang hebat oleh pandemi covid 19. Pasalnya, mulai dari proses produksi sampai pemasaran kopinya, di sana membasiskan pada kebudayaan rakyat setempat. (Ful/Yud)
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News