Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Musim Kemarau 2025: Kapan Puncaknya dan Mengapa Hujan Masih Sering Turun?

Mengapa Hujan Masih Sering Turun?

Banyak masyarakat bertanya-tanya, mengapa saat musim kemarau 2025 masih ada hujan yang turun? Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:

  • Kondisi Iklim Normal: Tidak adanya pengaruh kuat dari fenomena iklim global seperti El Niño, La Niña, atau Indian Ocean Dipole (IOD) membuat iklim 2025 cenderung normal. Ini memungkinkan curah hujan tetap ada di beberapa wilayah, terutama yang memiliki sifat kemarau di atas normal.
  • Masa Transisi (Pancaroba): Bulan April dan Mei 2025 menjadi periode transisi dari musim hujan ke kemarau. Pada masa ini, cuaca ekstrem seperti hujan lebat berdurasi singkat, petir, dan angin kencang masih sering terjadi.
  • Sirkulasi Angin Lokal: Pola angin musiman dan suhu permukaan laut yang hangat di perairan Indonesia dapat memicu pembentukan awan hujan, bahkan di tengah kemarau.
  • Variasi Zona Musim: Indonesia memiliki 699 ZOM dengan karakteristik berbeda. Wilayah seperti Aceh, Lampung, dan Papua bagian tengah diprediksi menerima curah hujan lebih tinggi dari rata-rata, sehingga hujan tetap muncul meski di puncak kemarau.

BMKG juga mencatat bahwa musim kemarau 2025 cenderung mirip dengan 2024, yang tidak terlalu kering dibandingkan 2023, saat El Niño memperparah kekeringan. Hujan yang masih turun ini bisa menjadi berkah sekaligus tantangan, terutama bagi sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya air.

Tren Terkini dan Dampaknya

Tren terkini menunjukkan bahwa masyarakat semakin aware terhadap perubahan iklim dan dampak musim kemarau 2025. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Pertanian Adaptif: Petani diimbau menyesuaikan jadwal tanam berdasarkan prediksi BMKG. Varietas tanaman tahan kekeringan, seperti padi gogo atau jagung hibrida, direkomendasikan di wilayah dengan kemarau lebih kering.
  • Kesiapsiagaan Bencana: Wilayah dengan curah hujan di bawah normal, seperti Jawa Timur dan NTT, berisiko mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pemerintah daerah diminta memperkuat sistem deteksi dini dan penyimpanan air.
  • Pengelolaan Air: Di sektor energi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) perlu mengelola pasokan air secara efisien untuk menghindari krisis energi selama puncak kemarau.
  • Kualitas Udara: Kota-kota besar seperti Jakarta dan Palembang harus mewaspadai penurunan kualitas udara akibat polusi dan potensi kabut asap dari karhutla.
  • Pemanfaatan Hujan: Wilayah dengan kemarau lebih basah, seperti Bali dan Maluku, dapat memanfaatkan hujan musiman untuk memperluas lahan sawah dan meningkatkan produksi pangan.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Halaman: 1 2 3
Berita Serupa
Exit mobile version