Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Mahasiswi ITB Viral: Kisah Meme, Hukum, dan Kebebasan Berekspresi

Kasus ini bukan sekadar soal meme. Ia mencerminkan ketegangan antara kreativitas, humor, dan batasan hukum di era digital. Mahasiswi ITB viral ini menjadi simbol perdebatan yang lebih besar: sampai mana batas ekspresi di ruang publik?

Kronologi Kasus Mahasiswi ITB Viral

Untuk memahami kasus ini, kita perlu melihat kronologinya secara runtut:

  • Maret 2025: SSS mengunggah meme di akun X-nya. Unggahan ini mulai viral, tapi juga memicu ancaman dan teror terhadapnya. Keluarga Mahasiswa (KM) ITB mulai mendampingi SSS sejak saat itu.
  • 6 Mei 2025: Bareskrim Polri menangkap SSS di Jatinangor. Penangkapan ini dikonfirmasi oleh Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko.
  • 9 Mei 2025: Orang tua SSS mendatangi ITB untuk meminta maaf. Pihak kampus menyatakan akan mendampingi mahasiswi tersebut secara hukum dan akademis.
  • 10 Mei 2025: Amnesty International mengecam penangkapan SSS, menyebutnya sebagai kriminalisasi kebebasan berekspresi.
  • 11 Mei 2025: Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengajukan penangguhan penahanan. Penahanan SSS akhirnya ditangguhkan oleh Bareskrim Polri.
  • 12 Mei 2025: SSS menyampaikan permintaan maaf kepada Prabowo dan Jokowi. Ia akan dibina oleh orang tua dan kampus.

Kronologi ini menunjukkan betapa cepat kasus mahasiswi ITB viral ini berkembang. Dalam hitungan hari, kasusnya menjadi sorotan nasional, bahkan internasional.

Kontroversi: Kebebasan Berekspresi vs UU ITE

Kasus ini memicu diskusi panas tentang kebebasan berekspresi. Banyak pihak, termasuk Amnesty International dan Partai Buruh, menilai penangkapan SSS berlebihan. Mereka menyebut meme sebagai bentuk kritik politik yang dilindungi oleh hukum HAM internasional dan nasional. Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, bahkan mendesak Presiden Prabowo turun tangan untuk membebaskan SSS, menyebut meme itu bukan konten asusila, melainkan kritik sosial.

Namun, ada pula yang mendukung tindakan polisi. Wakil Ketua Pro Jokowi (Projo), Freddy Damanik, meski tak melihat unsur penghinaan, tetap meminta pendekatan hukum yang tegas, tapi dengan keadilan restoratif. UU ITE sendiri sering dikritik karena pasal-pasalnya yang multitafsir, terutama soal kesusilaan dan pencemaran nama baik.

Di sisi lain, KM ITB mengecam penahanan SSS sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menuntut pembebasan SSS dan menyerukan solidaritas masyarakat sipil untuk menegakkan hukum yang adil.

Respons ITB dan Pemerintah

ITB tak tinggal diam. Kampus menyatakan telah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) dan Kemendiktisaintek, untuk memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan akademis kepada SSS. Wakil Rektor ITB, Andryanto Rikrik Kusmara, mengapresiasi sikap Istana yang menyarankan pembinaan ketimbang pemidanaan.

Pemerintah, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, menegaskan bahwa Prabowo tak melaporkan SSS. Istana lebih memilih pendekatan edukatif. Kemendiktisaintek juga menyampaikan keprihatinan, menekankan pentingnya literasi digital yang bertanggung jawab di kalangan mahasiswa.

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Halaman: 1 2 3
Berita Serupa
Exit mobile version