Perbedaan pola musim kemarau 2025 dengan tahun 2023 juga menjadi perhatian. Musim kemarau 2023 dipengaruhi oleh fenomena El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang kuat, menyebabkan penurunan curah hujan signifikan dan memperpanjang durasi kemarau di banyak wilayah Indonesia, terutama Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa. Kondisi ini memicu kekeringan parah yang berdampak besar pada sektor pertanian dan ketersediaan air bersih. Sebaliknya, musim kemarau 2025 diprediksi berlangsung dalam kondisi ENSO dan IOD yang netral, sehingga tidak ada pengaruh signifikan dari fenomena iklim global tersebut. Hal ini memberikan indikasi bahwa musim kemarau 2025 akan lebih normal dan tidak mengalami anomali cuaca ekstrem seperti pada 2023.
BMKG juga memproyeksikan peningkatan suhu rata-rata bulanan selama musim kemarau 2025, khususnya pada periode Mei hingga Juli, antara +0,3 hingga +0,6 derajat Celsius dibandingkan suhu normal. Kenaikan suhu ini berdampak luas, termasuk peningkatan penguapan air dari permukaan tanah dan badan air, mempercepat kekeringan tanah, dan menurunkan ketersediaan air permukaan. Kondisi ini sangat berpengaruh pada sektor pertanian dan kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis. Gelombang panas berkepanjangan dapat meningkatkan risiko heatstroke dan penyakit terkait panas lainnya.
Menghadapi tantangan musim kemarau 2025, BMKG mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan langkah adaptasi yang tepat. Langkah-langkah tersebut meliputi pengelolaan sumber daya air yang efisien, pemanfaatan air hujan, konservasi air tanah, peningkatan kapasitas infrastruktur irigasi dan penyimpanan air, serta sosialisasi penghematan air dan mitigasi risiko kebakaran hutan dan lahan. Koordinasi antar lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat diperlukan agar respons terhadap kekeringan dapat dilakukan secara cepat dan terintegrasi.
Wilayah NTT menjadi sorotan utama karena durasi kemarau yang sangat panjang dan intensitas tinggi. Kekeringan berkepanjangan tidak hanya mengancam sektor pertanian, tetapi juga dapat memicu konflik sosial terkait akses air bersih serta meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan yang merusak ekosistem dan membahayakan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan mitigasi risiko di wilayah ini menjadi prioritas utama.
Pemantauan cuaca dan iklim secara berkelanjutan menjadi kunci agar respons terhadap perubahan kondisi dapat dilakukan secara cepat dan efektif. Kesadaran akan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan sehari-hari harus terus ditingkatkan agar masyarakat lebih siap menghadapi tantangan musim kemarau, terutama di wilayah rawan seperti NTT. Prediksi BMKG bukan hanya menjadi informasi cuaca semata, melainkan juga landasan strategis dalam membangun ketahanan iklim dan keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia.(*/Red)