
Selain itu, kesadaran akan kesehatan mental semakin meningkat. Media sosial dipenuhi konten tentang mindfulness dan self-care, dengan tagar #SlowLiving di X mencapai 1,2 juta postingan pada awal 2025. Pandemi beberapa tahun lalu juga mengubah cara orang memandang hidup. Banyak yang mulai mempertanyakan, “Untuk apa kita terus berlari?” Slow living memberikan jawaban: hidup yang lebih sederhana dan bermakna.
Tren ini juga didorong oleh perhatian pada lingkungan. Slow living sering dikaitkan dengan gaya hidup ramah lingkungan, seperti mengurangi konsumsi berlebih dan mendukung produk lokal. Data dari Statista (2024) menunjukkan 47% konsumen global kini memilih merek yang berkelanjutan, selaras dengan nilai slow living.
Fenomena slow living membawa banyak keuntungan, baik untuk individu maupun komunitas. Berikut beberapa manfaat utamanya:
Studi dari University of Oxford (2024) menemukan bahwa orang yang menerapkan prinsip slow living melaporkan tingkat kepuasan hidup 20% lebih tinggi dibandingkan mereka yang hidup dengan ritme cepat. Ini menunjukkan bahwa memperlambat langkah bukan sekadar tren, tapi cara hidup yang berkelanjutan.
Menerapkan fenomena slow living tidak harus rumit. Kita bisa mulai dengan langkah kecil yang sesuai dengan gaya hidup masing-masing. Berikut beberapa tips praktis untuk memulainya:
Misalnya, kamu bisa mencoba “slow morning” dengan bangun 15 menit lebih awal untuk meditasi atau menulis jurnal. Aplikasi seperti Calm atau Headspace (populer di 2025) bisa membantu membangun kebiasaan ini. Jika pekerjaanmu padat, cobalah teknik Pomodoro versi slow: 25 menit fokus, lalu 5 menit untuk tarik napas atau regangkan tubuh.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News