
Berita Terkini – Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, fenomena slow living muncul sebagai angin segar. Gaya hidup ini mengajak kita untuk memperlambat langkah, menikmati momen, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Di tahun 2025, ketika teknologi semakin canggih dan tekanan hidup kian meningkat, slow living menjadi solusi untuk menemukan keseimbangan. Artikel ini akan membahas apa itu slow living, mengapa fenomena ini begitu populer, dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena slow living bukan sekadar tren, melainkan perubahan pola pikir. Berakar dari gerakan slow food di Italia pada 1980-an, konsep ini kini meluas ke berbagai aspek kehidupan, dari pekerjaan hingga hubungan sosial. Slow living mendorong kita untuk hidup dengan penuh kesadaran, mengurangi distraksi, dan menghargai proses. Menurut laporan Global Wellness Institute (2024), 62% pekerja di kota besar merasa kewalahan oleh ritme hidup cepat, membuat slow living semakin relevan.
Berbeda dengan hustle culture yang mengagungkan produktivitas tanpa henti, slow living mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Ini bukan berarti kita berhenti bekerja atau hidup seperti pertapa. Sebaliknya, kita diajak untuk memilih aktivitas yang memberi makna, seperti makan bersama keluarga atau menikmati hobi tanpa tergesa-gesa.
Fenomena slow living melejit karena dunia sedang berubah cepat. Teknologi seperti AI dan otomatisasi mempermudah hidup, tapi juga menciptakan ekspektasi untuk selalu “on”. Survei Deloitte (2025) menunjukkan 58% generasi Z dan milenial merasa burnout akibat tekanan digital. Slow living menawarkan jalan keluar dengan mengembalikan kendali atas waktu dan perhatian kita.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News