
OPINI – Sejak didirikannya sekolah kartini di Semarang, Surabaya, dan Malang pada tahun 1912, kehidupan yang lebih terang untuk perempuan sebagaimana dicita-citakan oleh kartini kian terwujud. Perempuan kian diakui keberadaanya. Misalnya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perpu Nomor 1 tentang Perubahan atas UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang didalamnya menetapkan afirmasi 30% keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Namun demikian, ternyata meskipun diberikan batasan minimal. Kuota itu tidak terpenuhi. Misal ditahun 2023, Keterlibatan Perempuan di Parlemen hanya berkisar 22, 14%.
Walaupun belum maksimal, harus diakui saat ini Perempuan telah diberikan ruang untuk dapat terlibat dalam pemerintahan. Pun demikian, makna keterlibatan belum tentu bisa dipersamakan dengan kontributif positif berkemanfaatan. Sebab, beberapa keterlibatan itu hanya kamuflasi eksistensi untuk menunjang konservatisme dan status aquo dalam Masyarakat. Posisi simbolis hanya untuk pencitraan. Atau bahkan sebenarnya posisi simbolis perempuan hanya dilakukan memenuhi kuota gender sehingga filterisasi potensi tidak dilakukan. Tidak ada yang tahu akan hal itu.
Apapun itu, bukan eksistensi yang menjadi tujuan Raden Adjeng Kartini dalam memperjuangkan Emansipasi Wanita. Raden Adjeng Kartini membenci sistem feodal Jawa yang menindas rakyat kecil dan kolonialisme Belanda yang menghisap sumber daya Indonesia. Pendidikan adalah jalan untuk terlepas dari kebodohan sehingga dengannya mampu melawan struktur feodal Belanda dalam melakukan kontrol politik.
Sudah tidak ada lagi penjajah, untuk apa lagi kita berjuang. Toh eksistensi Perempuan sudah mulai diakui di negeri ini. Begitu jawab para Perempuan yang tertidur pulas sebab merasa dirinya sudah ada di zona nyaman. Apakah benar demikian?!
Penjajahan di era modern tidak lagi berbicara serangan fisik layaknya kolonialisme klasik oleh negara asing. Penjajahan asing bisa dimulai dari ketergantungan pada investasi asing, utang, dan sistem ekonomi global. Hal tersebut yang kemudian dikenal dengan bentuk Penjajahan Ekonomi (Neokolonialisme). Utang Luar Negeri Indonesia Tembus US$427 Miliar (DDTC News, 20 April 2025). Negara Indonesia terjebak siklus utang yang memaksa mereka menerima kebijakan privatisasi, pemotongan subsidi, atau eksploitasi sumber daya alam. Apakah itu belum cukup disebut penjajahan? Belum lagi penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri.
Pengkhianatan terhadap negaranya sendiri mulai ditampakkan secara terang benderang. Elite Penguasa Menindas Rakyat, Mereka yang terbukti korupsi dengan bangga senyum melambaikan tangan didepan kamera. Atau Fenomena segelintir elite menguasai kekayaan, sementara rakyat kecil hidup dalam kemiskinan. “Revolusi kita belum selesai! Musuh kita bukan hanya imperialis di luar, tetapi juga lintah darat, tengkulak, dan tuan tanah di dalam negeri.” Begitu kata Soekarno dalam Pidato 17 Agustus 1960.[Baca Halaman Selanjutnya!]
Lalu bagaimana dengan posisi Perempuan pada masa ini? Pada era digital ini, banyak orang memilih untuk menjadi aktivis digital. Masyarakat memilih berpartisipasi secara simbolis dalam isu sosial melalui tindakan minim usaha, seperti like, share, atau tanda tangan petisi online tanpa keterlibatan nyata (slacktivism). No viral no justice, begitu anggapan mereka.
Namun, partisipasi pasif ini hanya menciptakan ilusi partisipasi tanpa dampak konkret. Dampak terbaik yang bisa diberikan adalah mereka menyelesaikan permasalahan di bagian permukaan tanpa menyentuh akar. Selanjutnya Masyarakat akan merasa kelelahan emosional karena menganggap upaya pemberantasan kejahatan ini tidak membuahkan hasil. Kemudian meraka apatis dan menyerah.
Ruang tempur kartini muda untuk berjuang masih sangat terbuka lebar. Pendidikan yang telah mampu kita akses dengan mudah saatnya diaplikasikan secara kongkrit. Jangan sekali kali memilih menjadi Perempuan yang apatis terhadap lingkungan sosial dan abai terhadap persoalan kemanusiaan.
Masuk dalam ruang pemerintahan dan buat perubahan. Bertindaklah sebagai Ibu Bangsa yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan dengan keberanian, kecerdasan, dan hati yang tulus untuk membangun bangsa. Tidak hanya duduk di kursi jabatan tanpa membuat dampak.
Emansipasi bukan berarti menggantikan kedudukan Pria, namun melaksanakan tugas pembantuan. Berhenti menuntut kesamaan derajat untuk sekedar menunjukan eksintensi diri. Sebab Raden Adjeng Kartini tidak memperjuangkan Emansipasi Wanita untuk sekedar ajang pamer prestasi. Apalagi selfi yang misin orientasi.
Catatan Redaksi : Dr. Fina Rosalina, SH.,MH. Adalah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ketua Posbakum Aisyiyah Jember, Divisi Hukum dan Advokasi ICMI Jember
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News