
Pada 6 Maret 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menggelar sidang perdana dakwaan Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula. Mantan Menteri Perdagangan itu diduga menyalahgunakan wewenang, merugikan negara hingga Rp578 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyoroti izin impor gula yang diberikan tanpa koordinasi, sehingga kasus ini menarik perhatian publik..
Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung pada 29 Oktober 2024, terkait dugaan korupsi dalam impor gula periode 2015-2016. Ia didakwa bersama Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus, atas penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Total tersangka dalam kasus ini mencapai 11 orang.
Menurut JPU, kasus ini bermula ketika Tom Lembong memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT Angels Products (PT AP) pada 2015. Padahal, rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015 menyatakan stok gula konsumsi nasional mencukupi, sehingga tidak diperlukan impor. Namun, izin impor tetap diterbitkan tanpa koordinasi dengan instansi terkait, yang akhirnya merugikan negara.
Selain itu, gula kristal mentah yang diimpor kemudian diolah menjadi gula kristal putih, meskipun sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, impor gula hanya boleh dilakukan oleh BUMN dan dalam bentuk gula kristal putih yang siap dijual ke masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran regulasi yang berujung pada kerugian besar bagi negara.
Dalam dakwaan, Tom Lembong disebut telah menugaskan PT PPI untuk mengadakan gula kristal putih dengan bekerja sama dengan produsen gula rafinasi. Akibatnya, harga gula di pasaran melonjak hingga Rp16.000 per kilogram, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang saat itu ditetapkan Rp13.000 per kilogram. Jaksa menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar peraturan, tetapi juga mengakibatkan kerugian negara yang signifikan.
Ancaman hukuman maksimal yang dihadapi adalah penjara seumur hidup, menunjukkan seriusnya tuduhan dalam dakwaan Tom Lembong.
Selain itu, BPKP menemukan bahwa transaksi ini menyebabkan distorsi pasar yang membuat industri gula lokal kesulitan bersaing. Banyak petani tebu yang mengalami kerugian karena harga gula lokal anjlok akibat kelebihan pasokan dari impor ilegal ini. Hal ini semakin memperburuk dampak ekonomi yang terjadi akibat kasus ini.
Setelah pembacaan Dakwaan Tom Lembong, dirinya menyatakan akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa. Ia menegaskan kesiapannya menghadapi persidangan secara profesional. “Saya sudah ditahan tiga bulan, prosesnya terasa lama. Saya harap kebenaran terungkap di pengadilan,” ujarnya saat pelimpahan berkas perkara ke Kejari Jakarta Pusat pada 14 Februari 2025.
Sebelumnya, Tom Lembong sempat mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya, tetapi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolaknya. Tim hukumnya menilai ada pelanggaran prosedur dalam penetapan tersangka, termasuk hak Tom untuk didampingi penasihat hukum pilihannya yang diabaikan.
Pihak kuasa hukum Tom Lembong juga menyampaikan bahwa kliennya hanya menjalankan kebijakan yang pada saat itu dianggap menguntungkan negara. Mereka menilai ada unsur kesalahan kolektif dalam proses pengambilan keputusan dan Tom seharusnya tidak menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan.
Kasus ini menimbulkan spekulasi politisasi, mengingat Tom Lembong merupakan tokoh kunci dalam tim pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024. Penetapan tersangka yang dilakukan sembilan hari setelah pelantikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menimbulkan dugaan bahwa kasus ini bermuatan politik.
Meskipun demikian, Kejagung membantah adanya politisasi dan menegaskan bahwa proses hukum dilakukan berdasarkan alat bukti yang valid.
Para pengamat hukum menilai bahwa kasus ini dapat menjadi preseden bagi penegakan hukum di Indonesia. Jika terbukti adanya unsur politisasi, maka hal ini bisa memperburuk citra penegakan hukum di mata masyarakat.
Sidang perdana ini menjadi awal dari proses hukum yang panjang. Publik menantikan apakah kasus ini benar-benar murni penegakan hukum atau ada unsur lain di baliknya. Kebenaran, seperti yang diharapkan Tom Lembong, hanya dapat terungkap melalui persidangan yang adil dan transparan.
Jika eksepsi yang diajukan Tom Lembong diterima, maka ada kemungkinan kasus ini tidak akan berlanjut ke tahap pembuktian. Namun, jika eksepsi ditolak, maka JPU harus menghadirkan bukti-bukti yang lebih kuat untuk memastikan bahwa dakwaan ini memiliki dasar hukum yang sah.
Dalam beberapa bulan ke depan, proses peradilan akan terus menjadi sorotan publik. Apakah Tom Lembong benar-benar bersalah, atau ada kepentingan politik yang lebih besar di balik dakwaan ini? Jawabannya akan ditentukan di pengadilan.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News