
Berita Terkini – Aplikasi World App mendadak viral di Bekasi. Bayangkan, hanya dengan scan iris mata, warga bisa dapat uang hingga Rp800 ribu! Tapi, di balik iming-iming itu, muncul kekhawatiran besar soal bahaya scan iris mata. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bahkan membekukan operasi World App. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa aplikasi ini begitu kontroversial? Mari kita bahas secara santai tapi informatif.
World App adalah aplikasi dari proyek Worldcoin, diprakarsai Sam Altman, pendiri OpenAI. Aplikasi ini menawarkan World ID, semacam paspor digital, yang didapat lewat pemindaian iris mata menggunakan alat canggih bernama Orb. Di Bekasi, terutama di Bojong Rawalumbu dan Narogong, warga berbondong-bondong antre.
Dari remaja hingga lansia, semua tergiur imbalan Rp200 ribu hingga Rp800 ribu. Prosesnya cepat: daftar, scan mata, lalu uang masuk dalam 24 jam. Tapi, di sinilah bahaya scan iris mata mulai jadi sorotan.
Menurut laporan, World App membuka gerai di banyak lokasi, seperti di dekat Stasiun Bekasi. Warga seperti Tarmin, misalnya, awalnya dapat 16 koin Worldcoin (WLD) senilai Rp800 ribu. Namun, imbalan itu menurun drastis di bulan berikutnya. Banyak yang mulai curiga: apa benar data mereka aman? Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, terutama karena data biometrik seperti iris mata sangat sensitif.
Pemindaian iris mata memang terdengar canggih, tapi bahaya scan iris mata bukan isapan jempol. Data biometrik, seperti iris mata, adalah informasi unik yang permanen. Kalau bocor, kamu tidak bisa menggantinya seperti kata sandi. Berikut beberapa risiko yang bikin bulu kuduk merinding:
Selain itu, Worldcoin pernah dikritik di negara lain. Di Kenya, misalnya, operasinya dilarang karena masalah privasi. Di Portugal, lebih dari 300 ribu orang menyerahkan data biometrik, tapi regulator menemukan banyak keluhan, termasuk pengumpulan data anak di bawah umur tanpa izin. Ini menambah daftar panjang bahaya scan iris mata.
Komdigi tidak tinggal diam. Pada 4 Mei 2025, mereka membekukan Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) Worldcoin dan World ID. Langkah ini diambil setelah viralnya aktivitas scan iris di Bekasi dan Depok. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, bilang ini langkah preventif untuk lindungi masyarakat. Ternyata, PT Terang Bulan Abadi, operator World App di Indonesia, bahkan belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Komdigi juga berencana memanggil PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara untuk klarifikasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ikut angkat suara. Ketua OJK, Mahendra Siregar, menyebut World App berisiko karena belum punya izin operasional resmi. Kolaborasi dengan kepolisian pun dilakukan untuk hentikan aktivitasnya sementara. Jelas, bahaya scan iris mata jadi alasan utama pemerintah bertindak cepat.
Warga Bekasi punya cerita beragam. Ada yang seperti Farida, yang tergiur janji imbalan bulanan meningkat hingga Rp1 juta, tapi kecewa karena uang tak kunjung cair. Ada pula Andita, yang menolak scan mata meski ditawari Rp800 ribu. “Bisa bahaya di masa depan. Data iris bisa dipakai untuk hal mengerikan,” katanya. Netizen di media sosial juga riuh. Akun @hupgupta, misalnya, bilang, “Jangan mau, 800 ribu data retina lu diambil, kita gak tahu apa yang mereka lakukan!”
Namun, tidak semua skeptis. Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya, yang ikut scan iris, bilang prosesnya cukup transparan. Tapi, ia tetap mengingatkan risiko jika data dikelola pihak tak bertanggung jawab. Perdebatan ini menunjukkan betapa bahaya scan iris mata masih jadi topik panas.
Kisah World App di Bekasi jadi pelajaran berharga. Iming-iming uang memang menggoda, tapi kita harus waspada. Berikut beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk lindungi diri:
Worldcoin mengklaim data dienkripsi dan tidak disimpan, tapi tanpa regulasi ketat, klaim itu sulit dipercaya. Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa teknologi canggih tidak selalu aman. Bahaya scan iris mata bisa muncul kapan saja jika pengawasan lemah.
Kisah World App mungkin baru permulaan. Di era digital, aplikasi serupa bisa muncul lagi. Pemerintah perlu perketat regulasi soal data biometrik. Masyarakat juga harus lebih kritis. Jangan sampai Rp800 ribu mengorbankan privasi seumur hidup. Dengan kasus ini, Komdigi menunjukkan komitmen jaga ruang digital. Tapi, peran kita sebagai pengguna juga penting. Mari jaga data pribadi seperti menjaga dompet sendiri.
Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA
Temukan Berita Terbaru: Google News