Iklan Floating Google AdSense (Diperbaiki)
×

Kehidupan yang Tenang: Sebuah Filsafat Sederhana yang Terlupakan

Ilustrasi fikiran bebas yang Tenang source : Ai

OPINIDi era yang serba cepat ini, kita sering kali melupakan esensi keberadaan manusia yang dapat diringkas menjadi siklus sederhana: makan, berusaha, berdoa, dan menjaga ketenangan. Ini bukan sekadar urutan aktivitas, melainkan ritme alami yang saya yakini sebagai fondasi kebahagiaan dan ketenangan emosi. Kehidupan sering kali digambarkan sebagai lautan luas yang penuh badai dan gelombang tak terduga. Namun, bagi saya, kunci untuk menavigasi lautan ini terletak pada sebuah prinsip ketenangan jiwa dan mental. Mari kita selami pandangan pribadi saya tentang konsep ini, yang lahir dari kegelisahan akan budaya “overthinking” modern Abad ini.

1. Hidup Kalau Makan: Menyederhanakan Eksistensi  

Bagi saya, makan adalah simbol kesadaran akan kehadiran diri. Di tengah hiruk-pikuk pembicaraan tentang passion, karier, dan ambisi, kita sering lupa bahwa napas kehidupan dimulai dari hal yang konkret: tubuh kita memerlukan energi. Saya pernah terjebak dalam pemikiran rumit tentang “tujuan hidup”, hingga suatu sore di mana anak pertama saya tertawa bermain bersama adiknya “anak kedua saya yang hanya berselisih satu tahun”, saya menyadari bahwa mereka hidup karena tubuh itu mendapat nutrisi, bukan karena pikiran mereka dipenuhi teori. Ini bukan hedonisme, melainkan pengakuan jujur bahwa hidup adalah proses merawat kehadiran fisik sebelum merambah ke ranah tidak burujung.

2. Makan Butuh Usaha: Antara Tradisi dan Modernitas

Usaha untuk mendapatkan makanan, dalam pengalaman saya, adalah jembatan antara manusia dan kodratnya. Kakek saya seorang petani yang bangun subuh, mencangkul, dan menikmati makan siang dengan nasi dari sawahnya sendiri. Sementara itu, saya, sebagai generasi Gen Z dengan dua anak laki-laki yang masih kecil dari seorang ibu yang melahirkannya, “mencangkul” dengan laptop untuk mendapatkan “nasi” melalui transfer gaji. Di sinilah letak keindahannya: usaha dalam bentuk apa pun adalah ritual pemaknaan. Namun, saya menolak romantisasi kerja keras. Usaha harus proporsional; kita bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Ini adalah prinsip yang saya pegang setelah mengalami burnout akibat mengejar standar sosial yang tidak realistis.

3. Usaha Perlu Doa: Spiritualitas yang Membumi  

Dalam pandangan saya, doa adalah seni merendahkan ego. Ketika saya beberapa kali gagal dalam mengekspresikan kepentingan, saya menyadari bahwa usaha manusia selalu memiliki batas. Doa bukanlah mantra untuk mengontrol takdir, melainkan cara untuk mengakui bahwa ada faktor X di luar kendali kita. Saya mempraktikkan doa sebagai meditasi harian: duduk diam, mengamati napas, dan mengucap syukur untuk oksigen gratis serta jantung yang masih berdetak tanpa perintah. Ini jauh lebih efektif daripada doa-doa panik yang penuh tuntutan.

4. Doa Harus Tenang: Revolusi Diam di Dunia Bising  

Di sinilah letak paradoks: bagaimana tetap tenang ketika tagihan menumpuk atau konflik sosial menghantam? Bagi saya, ketenangan adalah keterampilan, bukan sekadar keadaan. Saya melatihnya melalui “ritual kecil”: mencium aroma kopi pagi sebelum diminum, menyentuh tanah saat berjalan pagi, atau menertawakan diri sendiri saat melakukan kesalahan bodoh. Ternyata, ketenangan bukan berarti tanpa masalah, tetapi kemampuan untuk memelintir perspektif. Seperti air danau yang tenang, bukan karena tak ada angin, tetapi karena kedalamannya.

Penutup: Siklus Puncak, Hidup Tenang

Filosofi sederhana ini saya anggap sebagai anti-tesis terhadap budaya produktivitas toksik. Dengan memeluk siklus makan-usaha-doa-tenang, saya menemukan kebebasan: boleh bermimpi besar, tetapi tidak perlu mengorbankan tidur nyenyak. Boleh ambisius, asal tidak melupakan cara menikmati secangkir kopi hangat dan memperhatikan tumbuh kembang anak. Hidup bukanlah perlombaan menara pencakar langit, tetapi tarian menjaga keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa.

Saya memilih untuk menjadi manusia biasa yang bahagia ketimbang manusia hebat yang resah. Karena di tengah dunia yang menggila, keberanian terbesar justru ada pada mereka yang berani hidup sederhana.

Opini Bebas : Ulil Albab

Dapatkan Berita Terbaru: Saluran WA

Temukan Berita Terbaru: Google News

Berita Serupa